Referensi Hasil Pertelaan Kembali
Resensi

Referensi Hasil Pertelaan Kembali

Buku ini membagi perkembangan doktrin tentang overmacht di Indonesia ke dalam tiga era. Analisis diperkuat contoh putusan pengadilan yang relevan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buku “Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa”. Foto: Sgp
Buku “Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa”. Foto: Sgp

Entah sudah berapa banyak kajian, riset, dan opini yang menunjukkan gejala ketidakpastian hukum di Indonesia. Ketidakpastian bisa bersumber dari tumpang tindih peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, bahkan mungkin terlihat pada pendapat akademisi yang saling bertentangan.

 

Ungkapan atau pernyataan mengenai ketidakpastian hukum acapkali dilatarbelakangi ketidakpahaman atau karena faktor kepentingan. Dalam konteks ketidakpahaman, orang sering berbicara tentang hukum tertentu tanpa mengetahui dasar-dasar hukum dimaksud. Untuk mengatasi problem itu, akademisi dan praktisi hukum perlu membangun kembali dan mengembangkan the legal method. National Legal Reform Program (NLRP) menyambut upaya tersebut melalui Proyek Restatement berbasis subjek tertentu.

 

Salah satu buku yang lahir dari Proyek Restatement itu adalah “Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa”, sebuah karangan yang kini ada di hadapan pembaca. Materi yang ditulis dalam buku ini telah melalui kajian yang melibatkan akademisi, peneliti, dan pemerhati hukum. Ada tim pengulas, pelaksana peneliti, peneliti, dan tujuh orang editor. Komposisi tim ini di atas kertas bisa menjadi jaminan kualitas materi buku.

 

Bagi mereka yang berkecimpung dan menekuni bidang kontrak, keadaan memaksa –lazim disebut overmacht atau force majeur– sering menimbulkan masalah. Kalau boleh disebut, bisa memicu persoalan hukum jika dua pihak yang membuat perjanjian berbeda pandangan atas bersifat memaksa tidaknya suatu keadaan. Ironisnya, tidak cukup tersedia pengertian istilah ‘keadaan memaksa’ dalam kaitannya dengan suatu perikatan. Meskipun tersebar di banyak peraturan, kita bisa mengalami kesulitan mengkontruksi definisi overmacht kalau hanya melihat materi muatan peraturan tersebut. (hal. 3, dan hal. 72).

 

Aturan ‘keadaan memaksa’ bisa ditemukan dalam Pasal 1244-1245 dan 1444-1445 KUH Perdata. Juga bisa ditemukan pada Undang-Undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta perundang-undangan lain yang disinggung dalam buku ini (hal. 71).

 

Itu pula yang tampaknya mendasari sistematika buku ini memuat analisis tentang ‘keadaan memaksa’ berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan putusan pengadilan. Merujuk pada KUH Perdata, force majeur adalah suatu kejadian yang tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak menepati janjinya. Tentu –jika terjadi sengketa— debitur wajib membuktikan bahwa ingkar janji timbul karena keadaan memaksa. Unsur-unsur tadi menjadi tolok ukur bagi para pihak (hal. 101).

 

Buku setebal 144 halaman ini menyajikan analisis terhadap enam putusan pengadilan, tiga di antaranya sudah jadi yurisprudensi Mahkamah Agung. Jumlah ini sebenarnya bisa ditambah penulis mengingat begitu banyak putusan Mahkamah Agung menyangkut wanprestasi. Tetapi lantaran lebih dimaksudkan sebagai pertelaan kembali (restatement), dan bukan sebagai kajian mendalam seperti layaknya sebuah disertasi, materi buku ini hanya menguraikan hal-hal dasar tentang keadaan memaksa.

 

Penjelasan Hukum tentang Keadaaan Memaksa

(Syarat-Syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan

Keadaan Memaksa/Force Majeur)

 

Penulis: Rachmat S.S. Soemadipradja

Editors: Sebastian Pompe et al.

Penerbit: NLRP, 2010

Halaman: 144 hal.

 

Keberanian penulis membuat periodisasi pendapat pakar Indonesia (doktrin) tentang overmacht patut diacungi jempol. Periode pertama, 1950-1970, adalah era Kusumadi dan R. Subekti. Periode kedua, 1970-1990, adalah era Sri Soedewi Maschun Sofwan, Purwadi Patrik, Mariam Darus Badrulzaman, dan R. Setiawan. Periode ketiga, 1990-2009, adalah era Abdulkadir Muhammad, J. Satrio, Hartono Hadisoeprapto, Djohar Santoso, Ahmad Ali, Munir Fuady, dan Agus Yudhu Hernoko. Bagaimana dengan periode sebelum 1950? Apakah tidak ada ahli hukum Indonesia yang mengeluarkan pendapat mengenai overmacht? Tentu, jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada referensi yang dimiliki penulis. Oh ya, “Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa” menggunakan 34 buku sebagai referensi, di luar tesis, makalah, dan peraturan perundang-undangan.

 

Lepas dari kelemahan, buku ini tetap menarik untuk dibaca terutama oleh mereka yang ingin mengikuti perkembangan dan dinamika doktrin, perundang-undangan, dan yurisprudensi mengenai overmacht atawa force majeur. Siapa sangka, suatu saat Anda harus menghadapi keadaan yang mau tidak mau membuat Anda membatalkan janji dengan seseorang. Membaca buku ini berarti memberikan pemahaman bagi kita tentang apa saja yang bisa dikategorikan sebagai keadaan memaksa.

 

Selamat membaca…

Tags: