Hakim di Persimpangan Pendapat
Resensi

Hakim di Persimpangan Pendapat

Penulis percaya dissenting opinion dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Referensi dari Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buah reformasi dunia peradilan, Hakim boleh berbeda pendapat<br> dengan mayoritas anggota majelis. Foto: SGP
Buah reformasi dunia peradilan, Hakim boleh berbeda pendapat<br> dengan mayoritas anggota majelis. Foto: SGP

Salah satu buah reformasi dunia peradilan adalah kebebasan hakim mengemukakan pendapat saat memutus suatu perkara. Hakim boleh berbeda pendapat dengan mayoritas anggota majelis, dan pendapat tersebut dicantumkan sebagai bagian tak terpisahkan dari putusan. Pendapat berbeda itu yang kini lazim disebut dissenting opinion.

 

Buku ini mengantarkan pembaca ke jejak-jejak perubahan dunia peradilan sejak 2004 yang mengakomodir dissenting opinion. Tinjauan dan analisis buku setebal 130 halaman ini bukan ditujukan untuk menggambarkan tarik ulur dan dinamika dunia peradilan pada umumnya.

 

Kedua penulis, Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, adalah akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Buku ini adalah gabungan karya mereka yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan terpisah, penelitian kecil di PN Yogyakarta dan PN Sleman, ditambah buk-buku referensi. Tata Wijayanta, misalnya, sudah mengakrabi masalah dissenting opinion ketika mengambil studi strata 2 di almamaternya. Tesisnya tentang dissenting opinion di Pengadilan Niaga.

 

Kali ini Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah fokus membahas praktik dissenting opinion di peradilan umum, khususnya dalam perkara pidana dan perdata. Sebelum sampai pada putusan akhir, seorang hakim seharusnya bertanya dalam hati apakah putusan yang akan diberikan memuaskan atau adil. Hakim harus menimbang-nimbang, menilai, lantas memilih (hal. 27).

 

Putusan yang diambil setiap hakim tentu belum tentu sama. Penelusuran hakim terhadap fakta persidangan, pengetahuan hakim terhadap hukum, dan keyakinan turut mempengaruhi sikap hakim saat membuat putusan. Putusan majelis hakim diambil pada saat musyawarah digelar.  Suasana diskusi dan debat pada saat rapat permusyawaratan hakim itu ikut mempengaruhi. Seorang hakim junior misalnya punya rasa ewuh pakewuh untuk menentang pendapat hakim senior. Hakim masih enggan dan kurang berani untuk berbeda pendapat. Bukan hanya karena masalah senioritas, tetapi juga kekhawatiran dikucilkan hakim lain (hal. 90).

 

Tidak mengherankan jika kedua penulis menemukan fakta pendukung. Di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, dari 615 perkara perdata dan 2.250 perkara pidana sepanjang tahun 2004 hingga April 2010, hanya ada dua dissenting opinion, masing-masing satu perdata dan satu pidana (hal. 86).

 

Di PN Sleman lebih mencengangkan lagi. Dari 892 perkara perdata yang ditangani selama periode yang sama, tak ada satupun pendapat hakim berbeda yang dituangkan dalam putusan. Namun ada dua dissenting opinion dalam 2.781 perkara pidana yang ditangani (hal. 88).

 

Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan

 

Penulis: Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah

Penerbit: Pustaka Yustisia, Yogyakarta

Tahun: 2011

Halaman:  130 hal.

 

Buku yang relevan

Putusan Mahkamah Konstitusi Tanpa Mufakat Bulat

Catatan Hakim Konstitusi Soedarsono (2008)

 

Dissenting opinion dalam beberapa hal memang perlu. Ia merupakan wujud nyata demokratisasi peradilan, transparansi peradilan, kemandirian pendapat memerlukan kebebasan berpendapat, mencegah terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme, serta mencegah mafia peradilan.

 

Meskipun menguraikan perlunya dissenting opinion, pada bab akhir buku, kedua penulis menyatakan perbedaan pendapat yang disatukan dalam naskah putusan tidak banyak bermanfaat bagi para pihak, khususnya bagi pihak yang dikalahkan dalam peradilan model civil law system. Sebab, civil law system menghendaki putusan definitif, bulat, dan utuh (hal. 119). Apakah ini penegasan sikap dan pandangan kedua penulis? Wallohu a’lam.

 

Kesan bahwa dissenting opinion tak banyak manfaat, seperti ditegaskan kedua penulis, tergambar dalam sampul buku. Dua orang hendak mengetok palu, lalu dibuat tanda silang sebagai larangan. Apapun sikap kedua penulis, pembaca tetap bisa menjadikan buku ini bacaan di kala senggang. Siapa tahu, referensi dari Yogyakarta ini bisa menambah pengetahuan kita.

 

Jika ingin semacam perbandingan, Anda bisa membaca buku Putusan Mahkamah Konstitusi Tanpa Mufakat Bulat: Catatan Hakim Konstitusi Soedarsono (2008). Buku yang diterbitkan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi ini berisi dissenting opinion hakim konstitusi dalam sejumlah perkara pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.

 

Buku kedua ini menunjukkan kepada kita bahwa selain dissenting opinion, sebenarnya ada jenis lain pendapat berbeda, yaitu concurring opinion. Istilah terakhir ini merujuk pada perbedaan pertimbangan hakim tetapi menyetujui amar yang sama. Sayang, dalam buku yang ditulis Tata dan Hery, eksistensi concurring opinion tak disinggung sama sekali.

Tags: