Kejagung Akui Surat Cekal Yusril Keliru
Utama

Kejagung Akui Surat Cekal Yusril Keliru

Untuk itu, Kejagung telah merevisi dan kembali mengirimkannya ke Ditjen Imigrasi.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Wakil Jaksa Agung Darmono (kanan), Kejagung akui surat cekal<br> Yusril keliru. Foto: SGP
Wakil Jaksa Agung Darmono (kanan), Kejagung akui surat cekal<br> Yusril keliru. Foto: SGP

Bak menjilat ludah sendiri, Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya mengakui pihaknya keliru menggunakan dasar hukum untuk memperpanjang cekal mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dan mantan Komisaris PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Hartono Tanoesudibyo.

 

Padahal, kemarin (27/6), Wakil Jaksa Agung Darmono bersikeras pihaknya sudah benar menggunakan UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Darmono beralasan undang-undang itu masih berlaku selama peraturan pelaksanaan UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian belum dibuat.

 

Namun, sikap Kejagung itu tidak bertahan lama. Pasalnya, Selasa (28/6), Kejagung merevisi Surat Keputusan Jaksa Agung yang meminta Ditjen Imigrasi mencekal Yusril dan Hartono. Revisi ini dilakukan karena Kejagung mengakui adanya kekeliruan dalam penggunaan dasar hukum untuk mencekal kedua tersangka dalam perkara korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) ini.

 

“Memang ada kekeliruan dan sudah diperbaiki. Kemudian, perbaikan itu disesuaikan dengan UU Keimigrasian yang baru (UU No 6 Tahun 2011). Hari ini sudah dikirim,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad.

 

Perbaikan ini, kata Noor Rachmad, memang dapat dilakukan karena dalam Surat Keputusan itu ada klausul “Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan di dalam Keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya”.

 

Dengan demikian, Kejagung telah memperbaiki kekeliruan itu dan mengirimkannya kembali ke Ditjen Imigrasi. Kasubag Humas Ditjen Imigrasi Herawan Sukoaji mengaku sudah menerima dua surat permohonan cekal yang direvisi atas nama Yusril dan Hartono pada pukul 12.00 WIB, Selasa (28/6).

 

Kedua surat permohonan cekal itu masing-masing bernomor Kep-201/D/Dsp.03/06/2011 dan Kep-202/D/Dsp.03/06/2011. “Keduanya ditandatangani Jaksa Agung Muda Intelijen Edwin P Situmorang,” ujarnya.

 

Surat permohonan cekal yang versi revisi mencantumkan perubahan dasar hukum dan jangka waktu pencekalan. Dari yang semula satu tahun, kini menjadi hanya enam bulan atau dengan kata lain hanya sampai tanggal 26 Desember 2011.

 

Di lain pihak, Yusril dalam siaran pers yang diterima wartawan mengingatkan Kejagung agar tidak coba-coba mengubah Surat Keputusan pencekalan dirinya yang nyata-nyata salah dan melawan hukum dengan menyesuaikannya dengan UU No 6 Tahun 2011. Perubahan itu justru bukan saja akan mencoreng wajah Wakil Jaksa Agung Darmono, tapi juga seluruh jajaran Kejagung karena menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam menjalankan hukum.

 

Untuk itu, menurut Yusril, Kejagung tidak bisa seenaknya mencabut Surat Keputusan yang sudah dikirimkan ke Ditjen Imigrasi pada Jum’at lalu (24/6). Karena, domain pencabutan kini sudah berada di tangan PTUN. “Nanti pengadilan yang akan memutuskan SK tersebut harus dibatalkan atau tidak. Saya yang menggugat, maka Jaksa Agung yang harus mempertahankan argumentasinya. Biarkan semuanya berjalan secara fair, sehingga nanti akan ketahuan siapa yang benar siapa yang salah,” tuturnya dalam siaran pers.

 

Sebagaimana diketahui, Yusril telah mendaftarkan gugatan ke PTUN. Yang digugat Yusril adalah Jaksa Agung Basrief Arief karena menerbitkan Surat Keputusan benomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011. SK itu meminta Ditjen Imigrasi mencekal Yusril sampai satu tahun ke depan. Dari tanggal 26 Juni 2011 sampai tanggal 26 Juni 2012.

 

Namun, dasar yang digunakan Jaksa Agung untuk mencekal Yusril tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jaksa Agung mendasarkan pada UU No 9 Tahun 1992 yang sudah tidak berlaku lagi. Kemudian, Jaksa Agung mendasarkan pula pada ketentuan PP No 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan (cekal) serta Peraturan Jaksa Agung nomor PER-010/A/J.A/01/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan Pencegahan dan Penangkalan.

 

Yang mana, apabila mengacu pada Pasal 142 dan Pasal 143 UU No 6 Tahun 2011 aturan-aturan itu sudah tidak berlaku lagi. Selain menggunakan dasar hukum yang keliru, Jaksa Agung juga menjadikan “kepentingan penyidikan” sebagai alasan untuk melakukan cekal terhadap Yusril. Padahal, Kejagung sejak Januari 2011 lalu telah menyatakan lengkap (P21) perkara Yusril.

 

Atas berbagai kekeliruan ini, Kejagung sudah merevisinya. Kemudian, terkait dengan alasan cekal lainnya, yakni “untuk kepentingan penyidikan”, Noor Rachmad mengatakan tidak ada yang salah dengan alasan itu. Karena, meski sudah dinyatakan P21, perkara Yusril belum dilimpahkan tahap dua. Makanya, Kejagung tetap beralasan pencekalan itu salah satunya adalah untuk kepentingan operasi yustisi pada tahap penyidikan.

 

Yusril sangat menyayangkan surat permohonan cekal yang penuh kekeliruan ini. “Surat (permohonan cekal) yang nyata-nyata salah itu malah dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar,” kata Yusril, Senin (27/6). 

 

Maka dari itu, mantan Menteri Kehakiman ini menegaskan Jaksa Agung dan Menkumham telah berbuat bodoh, zalim, dan mempertontonkan kesewenang-wenangannya. Tidak tanggung-tanggung, Yusril dalam konferensi pers di kantornya mengatakan kedua pejabat tinggi negara ini “goblok”.

 

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad sangat menyayangkan kata-kata tidak mengenakkan itu keluar dari seorang Yusril yang terpelajar. Dengan emosionalnya, beliau mengucapkan kata-kata yang kurang pantas, “saya mengimbau Pak Yusril agar meminta maaf dan mencabut kata-katanya”.

 

 

 

Tags: