The Invisible Hands
Tajuk

The Invisible Hands

Apapun sistem yang dianut, setiap sistem akan mampu menyelesaikan permasalahan masyarakatnya sendiri. Tentu tidak ada hasil yang sempurna.

Oleh:
Ats
Bacaan 2 Menit
The Invisible Hands
Hukumonline

Dalam masyarakat ideal versi timur, semua keluhan dicoba ditekan dan ditelan dalam rasa kesal dan marah pribadi, kalaupun akhirnya tak tertahankan maka keluhan tadi diusahakan untuk diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat untuk mempertahankan harmoni dalam masyarakat. Itu pelajaran awal waktu saya belajar hukum di FHUI tahun 1973-1977, seperti yang disampaikan oleh Prof Hazairin dalam pelajaran hukum adat.

 

Hukum, dalam arti penerapan sanksi-sanksi, hanya bekerja manakala terjadi pelanggaran ekstrim yang tidak bisa ditolerir oleh nilai-nilai yang diadopsi masyarakat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara tadi. Nilai-nilai yang sama banyak dianut di Jepang, Korea, dan negara-negara Asia lainnya, walaupun secara teknologi, pembangunan infrastruktur, pengelolaan ekonomi, industri dan perdagangan mereka sudah jauh lebih maju dari kita.

 

Itu juga yang saya pelajari dari almarhum Prof Dan Fenno Henderson (tahun 1983-1984 di University of Washington), salah satu ahli hukum Jepang, dan satu dari sedikit lawyer Amerika yang mendapat lisensi untuk berpraktik hukum di Jepang, dan juga salah satu penerjemah Jendral Mac Arthur pada proses menyerahnya Jepang kepada bala tentara sekutu. Masyarakat Asia bukan masyarakat yang “litigious”, dan tidak biasa menggugat tetangga, anggota masyarakat dimana dia hidup dan “saudara-saudaranya sendiri”.

 

Sayangnya kita tidak lagi hidup dalam tatanan masyarakat yang mengidamkan harmoni yang terjaga. Secara politik kita sudah hampir berhasil mengadopsi sistem demokrasi, dimana kebijakan publik ditentukan oleh sedikit orang yang kita pilih melalui pemilihan umum langsung, yang duduk di parlemen dan eksekutif. Sekali mereka bersepakat untuk nilai yang harus kita taati dan junjung, seketika itu kita terikat dengan nilai-nilai tadi. Sekali kita melanggar nilai tadi, tersedia lembaga peradilan yang tugasnya meluruskan tabiat melenceng kita dengan hukuman, dari sekedar denda sampai dihilangkannya nyawa kita.

 

Dalam masyarakat adat, dimana kebijakan ditentukan oleh tradisi lama dan dijaga oleh tetua-tetua kita, unsur keadilan hanya bisa diperoleh dari kitab-kitab tua atau cerita yang turun menurun diwariskan dan seberapa bijak tetua-tetua kita menerapkannya. Tetua-tetua itu menafsirkan nilai-nilai tua, dan menghukum berdasarkan nilai-nilai tadi. Dalam masyarakat modern, keadilan juga ditentukan oleh kitab-kitab, tetapi kitab-kitab yang selalu dapat diperbaharui, kapan saja legislatif mau mengubahnya berdasarkan living values yang berlaku di masyarakat waktu itu. Begitu juga, keadilan didapat dari bagaimana badan peradilan menafsirkan nilai-nilai dalam kitab-kitab tadi.

 

Dalam sistem yang lebih mendasarkan ditegakkannya keadilan pada “court precedence”, maka peran hakim akan lebih menonjol. Hakim, katanya, akan menyerap rasa keadilan yang hidup di masyarakat, dan menerapkannya dalam keputusannya. Dalam sistem “common law”, untuk perkara tertentu mereka akan membentuk tim juri, yang juga akan merepresentasikan rasa keadilan masyarakat, dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan argumen hukum yang mereka saksikan dalam persidangan.

 

Apapun sistem yang dianut, setiap sistem akan mampu menyelesaikan permasalahan masyarakatnya sendiri. Tentu tidak ada hasil yang sempurna, untuk itulah legislatif seharusnya akan dengan rajin dan cermat membentuk kebijakan publik baru yang lebih adil dan mewakili kepentingan anggota masyarakat terbanyak. Juga begitu halnya dengan badan peradilan. Hakim akan selalu mencari nilai-nilai mana dalam masyarakat yang layak diterapkan sebagai acuan dalam memutus perkara.

 

Kalau begitu, kehidupan kita ini pada dasarnya diatur oleh sedikit orang dalam legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kita bertingkah laku sesuai dengan nilai yang saat ini dianggap baik oleh legislatif, dan kita bertingkah laku sesuai dengan kebijakan operasional yang diatur dan dilaksanakan oleh eksekutif, dan kita ditentukan nasibnya oleh yudikatif manakala kita terlibat sengketa tentang nilai-nilai tadi. Begitu sederhana. Tidak juga.

 

Kenapa tidak sederhana? Tentu, karena 500-an orang-orang yang terpilih dari 250 juta rakyat Indonesia itu menentukan nilai-nilai tadi. Nilai-nilai tadi termasuk bagaimana demokrasi dikembangkan, lembaga negara dibangun dengan integritas tinggi, korupsi ditekan dan bahkan dihapuskan, hak asasi manusia ditegakkan, pluralisme dijaga, kesempatan kerja dan berusaha dibangun setara, sistem pendidikan dikembangkan sehingga kita bisa kompetitif dengan bangsa-bangsa lain manapun, sistem pelayanan kesehatan diberikan secara layak kepada setiap warga negara, infrastruktur, sistem transportasi dan pelayanan umum disejajarkan dengan apa yang tersedia di negara-negara maju, pengelolaan dan konservasi lingkungan yang berkelanjutan dilakukan, perlindungan konsumen diberikan, hak menyatakan pendapat dan kebebasan pers dilindungi, perlindungan kepada buruh, tani, nelayan dan pengusaha kecil diberikan, kredit secara adil diberikan kepada usaha kecil dan menengah, perlindungan kepada anak dan wanita diberikan,  dan bagaimana ribuan urusan kehidupan kita lainnya diatur.

 

Begitu pentingnya semua masalah tadi, dan begitu masifnya, meliputi semua urusan hidup kita di dunia. Pertanyaan besarnya, bagaimana kita dapat mempercayai keputusan atas semua hal penting tadi kepada 500-an orang anggota parlemen. Selain itu, kita juga mempercayakan mereka untuk begitu banyak muatan yang terkandung didalamnya. Keputusan-keputusan tadi sangat dipengaruhi oleh antara lain: (a) kepentingan politik dan posisi tawar setiap anggota parlemen dan partai politik, (b) kemampuan substantif dan teknis anggota parlemen dan parlemen merumuskan kebijakan publik yang terbaik dan mewakili kepentingan mayoritas warga negara, (c) kemampuan luar biasa pihak-pihak di luar parlemen untuk mempengaruhi perumusan kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka, termasuk kepentingan politik, dunia usaha, maupun kelompok penekan lain, (d) kemampuan eksekutif untuk ikut mempengaruhi arah kebijakan karena dampaknya terhadap mereka sebagai pelaksana kebijakan maupun sebagai bagian dari parpol pemenang pemilu, (e) sejumlah petualangan dari kalangan tertentu anggota parlemen, terlepas dari kebijakan parpolnya dalam proses perumusan kebijakan publik, baik untuk kepentingan uang, posisi politik maupun kepentingan lain apapun, (f) kompleksitas yang luar biasa dari masalah yang akan diatur dalam kebijakan publik tadi, yang kadang-kadang berada di luar jangkauan wajar pengetahuan dan kemampuan rata-rata anggota parlemen, (g) tekanan dari para pemangku kepentingan yang seringkali tidak bisa dihindari oleh parlemen, apalagi bila menyangkut kebijakan yang sifatnya populis, (h) ketidaksiapan dari infrastruktur, kelembagaan, dan perangkat-perangkat serta sumber daya manusia yang diperlukan untuk bisa melaksanakan kebijakan publik tersebut secara efektif, (i) kerancuan yang ditimbulkan oleh tumpang tindihnya peraturan perundangan yang berlaku, sehingga kebijakan baru belum tentu bisa efektif karena bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan lain yang bisa jadi dianggap juga sebagai lex specialist, (j) lain-lain.

 

Sebab-sebab di atas bisa berdiri sendiri, dan bisa juga kumulatif, sehingga menjadikan kita banyak bertanya seberapa efektif parlemen kita bisa mewakili kepentingan konstituennya, atau pertanyaan lebih besarnya, seberapa efektif parlemen bisa membawa bangsa ini ke arah, tujuan dan posisi yang lebih baik. Terus terang yang akan kita dapati adalah pesimisme tinggi dari sebagian besar publik kita mengingat struktur politik, kemampuan parlemen dan anggota parlemen, dan niat baik dari sejumlah besar mereka untuk memperbaiki bangsa ini.

 

Masalahnya menjadi semakin tidak sederhana, bahkan rumit dan mengkhawatirkan, bila kita bayangkan, dan ini sudah terjadi dalam berbagai macam skala, yaitu manakala kebijakan publik yang serba bermasalah tersebut diterjemahkan, ditafsirkan dan digunakan dengan kaca-mata yang lain lagi oleh hakim dalam proses peradilan. Sebagaimana kita sadar penuh, judikatif juga tidak kalah bermasalahnya dengan parlemen. Permasalahannya hampir sama, bahkan beberapa diantaranya saling terkait. Hakim tidak lepas dari pengaruh dan tekanan politik. Hakim juga banyak bergerak memberikan keputusannya karena pengaruh uang, kekuasaan, dan permufakatan jahat lainnya.

 

Belum lagi, pengaruh mafia hukum yang banyak didorong oleh kerakusan sejumlah advokat kita. Hakim masih bekerja dalam institusi dan sistem yang belum selesai melakukan reformasi, masih korup dan belum terlihat niatannya untuk berubah total. Sistem rekrutmen, pendidikan, pelatihan, penempatan dan penghargaan atas kinerja baik masih cukup buruk sehinga tidak menjamin diberikannya keputusan yang paham substansi, tehnik, proses, penghargaan atas hukum dan rasa keadilan yang berlaku bagi semua. Kompleksnya transaksi komersial dan keuangan internasional yang dilakukan di, atau menyangkut Indonesia, menambah kerumitan tersebut, karena transaksi-transaksi tersebut cenderung menggunakan hukum asing dan cara penyelesaian sengketa dilakukan melalui peradilan atau arbitrasi asing. Hakim-hakim yang menerima kasus-kasus tersebut seringkali tergoda, karena merasa mempunyai yurisdiksi atau karena pengaruh uang, mengadilinya dengan mengesampingkan pilihan-pilihan hukum dan yurisdiksi yang dilakukan para pihak.

 

Belum lagi, mengenai pemahaman atas substansi. Keterbatasan bahasa asing, dan kompleksnya struktur transaksi dan hubungan antar pihak, seringkali tidak dimengerti oleh para hakim yang tidak mendapat latihan dan keterampilan khusus bidang-bidang tersebut dalam sistem pendidikannya. Alhasil, para pihak tidak mendapatkan keputusan berdasarkan intensi yang pernah mereka capai dalam transaksi-transaksi tersebut. Ini bisa soal kecil, tetapi juga bisa melibatkan transaksi besar yang berjumlah milyaran dolar, atau bahkan bisa berakibat hengkangnya investasi sekelompok usaha tertentu, atau bahkan negara tertentu, yang bisa bergulir menjadi bola salju yang membesar, yang menjadikan Indonesia sebagai tempat yang buruk untuk investasi.

 

Kalau hal seperti ini terjadi, apa pedulinya para hakim? Apa pedulinya mereka kalau Indonesia bukan tandingan, dan menjauh dari kelompok negara-negara BRIC atau G-20. Saya sangat meragukan empati para hakim kita atas posisi ekonomi Indonesia dimata investor dan pelaku bisnis asing. Dan kalau kerusakan pada sistem pembuatan kebijakan publik tadi ditambah dengan kerusakan pada sistem judisial kita, maka lengkaplah, dari ujung awal sampai ujung akhir proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik kita ternyata masih melakukan perusakan-perusakan yang masif bagi terbentuknya negara hukum dan berkeadilan. Kerja keras untuk menyelesaikan masalah-masalah tadi masih sangat dibutuhkan. Kalau ada siapa saja yang mengatakan kita sudah berada di posisi yang baik dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik yang baik, yang dijaga dengan governance yang baik pula, maka sudah pasti ia masih bermimpi. Nasib kita masih diatur oleh the invisible hands tadi.

 

Tags: