Dicari Sistem Kelembagaan Bantuan Hukum Ideal
Utama

Dicari Sistem Kelembagaan Bantuan Hukum Ideal

Pemerintah dan DPR masih belum satu suara dalam mencari bentuk kelembagaan bantuan hukum yang ideal. Bagaimana peran organisasi advokat?

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
LBH tetap menjadi ujung tombak pelaksanaan bantuan<br>hukum di daerah. Foto: bantuan hukum.or.id
LBH tetap menjadi ujung tombak pelaksanaan bantuan<br>hukum di daerah. Foto: bantuan hukum.or.id

Isu mengenai lembaga bantuan hukum nasional beserta mekanisme penyaluran dana bantuan hukum termasuk materi paling hangat dalam pembahasan RUU Bantuan Hukum di DPR. Belum ada titik temu antara pemerintah dan DPR mengenai penempatan lembaga yang akan mengurusi pelayanan bantuan hukum bagi warga miskin.

 

Pemerintah mengusulkan penyelenggara bantuan hukum nasional akan ditempatkan di bawah Kementerian Hukum dan HAM dan kantor wilayah di daerah-daerah. Sebaliknya, DPR mengusulkan penyelenggaraan bantuan hukum nasional dijalankan sebuah badan mandiri yang terlepas dari campur tangan pemerintah. Badan ini berkedudukan di tingkat pusat dan daerah.

 

Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono mengatakan Dewan berharap ada terobosan dalam penanganan bantuan hukum secara cepat, efisien, dan optimal. Campur tangan pemerintah dikhawatirkan akan membuat kerja badan ini tidak efisien. “Maka, kami tidak mengharapkan cukup ditangani oleh pemerintah sendiri. Kami mengusulkan badan ini harus independen,” ujarnya di sela-sela seminar “Menggagas Sistem Kelembagaan Bantuan Hukum yang Ideal dalam Mewujudkan Akses Keadilan Bagi Masyarakat Miskin dan Kelompok Marginal” yang diselenggarakan Tekad Indonesia dan YLBHI, Kamis (7/7).

 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sepakat dengan gagasan DPR. Erna Ratnaningsih, Ketua YLBHI, berpendapat badan bantuan hukum tak perlu dibentuk sampai kabupaten. Sebab, yang menjadi ujung tombak dari pelaksanaan bantuan hukum adalah LBH-LBH dan LKBH yang sudah diakreditasi. YLBHI lebih fokus pada verifikasi dan akreditasi.

 

“Selama ini banyak sekali LBH-LBH yang bukan terkonsentrasi pada pemberian bantuan hukum, melainkan hanya untuk menutupi ketidakprofesionalannya menjadikan LBH sebagai kedok untuk mendapatkan klien,” Erna memberi argumentasi.

 

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Wicipto Setiadi berpendapat pembentukan lembaga atau badan baru justru tidak menyelesaikan persoalan. Malah bisa menciptakan persoalan baru.

 

Pendapat bernada sama diungkapkan ahli hukum tata negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie. “Kalau kita cermati, kita sebetulnya tidak terlalu perlu membuat lembaga baru. Jaminan konstitusionalnya sudah ada. Dalam praktik, bantuan hukum kan sudah jalan,” tuturnya.

 

Pendiri Tekad Indonesia Harry Ponto mengatakan bahwa hendaknya pembentukan komisi bantuan hukum jangan sampai menafikkan praktik-praktik bantuan hukum yang selama ini sudah dijalankan oleh LBH dan LKBH kampus. Harry mengkritisi ketentuan yang ada di dalam draf terakhir RUU, bahwa pemberi bantuan hukum adalah advokat, dosen, paralegal, mahasiswa, dan dosen, seolah LBH dan LKBH ini terlepas. Menurut Harry, seharusnya para pemberi bantuan hukum itu terikat pada LBH ataupun LKBH yang sudah terakreditasi.

 

“Hanya, kami para advokat kan dalam berpraktik mengikuti kode etik tertentu, lalu mereka yang bukan advokat bagaimana. Ini yang saya lihat di dalam RUU ini belum ada. Intinya adalah harus ada kode etik juga yang harus diikuti pemberi bantuan hukum non-advokat,” tambah Harry.

 

Peran Organisasi Advokat

Dalam kondisi yang ada saat ini, sesungguhnya biaya untuk bantuan hukum yang diberikan oleh negara telah ada. Melalui Mahkamah Agung dan pos bantuan hukum (posbankum), masyarakat miskin dapat mengakses bantuan hukum yang dibiayai oleh pemerintah. Selain itu, banyak pula anggaran bantuan hukum yang menempel di lembaga negara lainnya, misalnya di KPK atau di Kementerian Keuangan.

 

Namun, dana bantuan hukum  yang menempel pada anggaran lembaga negara lain selain Mahkamah Agung belum dapat secara luas diakses masyarakat. “Dana besar ini, sayangnya hanya dikhususkan untuk aparatur internal. Kalau ada pejabat yang terkena masalah hukum, bantuannya dari situ,” kata Wicipto.

 

Berkaitan dengan pendanaan bantuan hukum, Jimly mengungkapkan sumber dana bantuan hukum selayaknya tidak hanya dari APBN. Bisa juga dari APBD,  tanggung jawab sosial dari setiap advokat atau bantuan asing. Yang penting ada terkoordinasi. Dalam hal ini, pemerintah berperan memfasilitasi, membuat regulasi, dan akreditasi. “Selebihnya menurut saya pemerintah tidak perlu membuat pos sampai ke desa-desa,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

 

Ditambahkan Jimly, pemerintah tidak usah menjadi pelaksana. “Jadi, cara kita memahami bantuan hukum adalah bahwa pemerintah bukan membantu, bukan melayani. Jadi negara harus empowering, jadi bantuan hukum ini jadi gerakan profesional  para advokat dengan CSR-nya (corporate social responsibility--red), gerakan idealisme kalangan perguruan tinggi, dan gerakan sosial LBH-LBH,” tuturnya.

 

Organisasi advokat, kata dia, harus dapat mengawal pelaksanaan UU Bankum nanti sehingga transparansi dan akuntabilitas kerja pemerintah dapat terjaga. “Pendekatan kelembagaan melalui organisasi advokat merupakan upaya pengawasan agar pelayanan bantuan hukum ini sesuai tujuan dan maksudnya,” pungkas Jimly.

Tags: