Anak Bukan Pelaku Pidana Otonom
Hari Anak Nasional 2011:

Anak Bukan Pelaku Pidana Otonom

Ribuan anak berhadapan dengan hukum setiap tahun. Baik selaku korban, pelaku maupun saksi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Penjara bukan tempat yang tepat buat anak. Foto: Sgp
Penjara bukan tempat yang tepat buat anak. Foto: Sgp

San –sebut saja begitu- masih berusia 17 tahun ketika melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap seorang gadis tuna wicara. Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman enam bulan karena terbukti melakukan tindak pidana Pasal 265 KUH Pidana. Jaksa meminta hukuman lebih berat. Namun pada Januari lalu, Mahkamah Agung menolak kasasi jaksa. Hukuman untuk San berkekuatan hukum tetap.

 

Bagi hakim, perbuatan pidana San harus mendapat ganjaran meskipun pada saat melakukan tindak pidana masih dapat dikualifisir sebagai anak. Seyogianya, ia diperiksa dan diadili layaknya anak lain. Bagi para aktivis perlindungan anak, anak-anak yang bermasalah dengan hukum seperti San seharusnya tak dihukum penjara.

 

San bukan satu-satunya anak pelaku pidana yang dihukum. Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia, Muhammad Joni, menyatakan mayoritas anak yang berhadapan dengan hukum masih dihukum pidana penjara. Sekitar 70 persen putusan pengadilan kasus anak menjatuhkan pidana penjara.

 

Belum lagi ketidaklayakan lembaga pemasyarakatan anak. Saat berkunjung ke Medan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan fakta Lapas Anak Kelas II Medan tidak representatif buat anak. Lapas itu seharusnya hanya dihuni 250 anak. Faktanya, KPAI menemukan 562 anak. Karena itu, KPAI meminta agar Pemerintah segera mengambil langkah cepat.

 

Bukan hanya memikirkan kelayakan penjara. Lebih jauh, Joni berpendapat Pemerintah sudah seharusnya menghapuskan penjara anak, atau setidaknya pemenjaraan anak. Penjara, kata dia, bukan tempat yang tepat merestorasi anak pidana. “Penjara membawa pengaruh lebih jahat sehingga sering dikatakan perguruan tinggi kejahatan,” papar Joni dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2011.

 

Menurut Joni, seorang anak pada hakikatnya bukan pelaku pidana otentik dan otonom kehendak bebas si anak. Perbuatan pidana yang dilakukan anak bukan bersifat otonom jika dilihat dari kehendak.

 

Bagi Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia, penjara bukan pilihan satu-satunya yang tidak terhindarkan karena UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memungkinkan penjatuhan tindakan atau maatrgelen. Pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, sanksi pelayanan masyarakat, latihan kerja sosial, atau pidana pengawasan sebaiknya dibaca sebagai tindakan, bukan dikualifisir sebagai hukuman pidana.

 

Anak yang berhadapan dengan hukum terus bertambah. Pada 2008, terdapat 6.505 anak yang berhadapan dengan hukum di 29 Balai Pemasyarakatan yang diajukan ke pengadilan. Setahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 6.704 anak. Ada kenaikan sekitar 70 persen. Pengadlan banyak menjatuhkan hukuman penjara kepada mereka.

 

Yang lebih menyedihkan lagi, di beberapa daerah, anak pidana digabung bersama narapidana dewasa. “Sekitar 84,2 persen anak-anak ditempatkan pada penjara dewasa akibat over capacity penjara anak,” jelas Joni.

 

Joni berharap gagasan menghapus pidana penjara bagi anak diakomodir dalam RUU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). RUU ini sudah mulai disusun dan dibahas antar pemangku kepentingan. Bahkan sudah terbentuk Panitia Kerja di DPR untuk membahas RUU SPPA ini. Sayang, Joni menengarai proses pembahasan di Panja RUU SPPA kurang terbuka.

 

Tags: