Nazaruddin Bisa ‘Melawan’ di Kolombia
Utama

Nazaruddin Bisa ‘Melawan’ di Kolombia

Indonesia tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Kolombia. Nazaruddin bisa melakukan upaya hukum agar pemerintah Kolombia tak mengekstradisi dirinya.

Oleh:
Ali Salmande/Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. Foto: SGP
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. Foto: SGP

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin telah ditangkap oleh interpol dan Kepolisian Kolombia. Pihak pemerintah Indonesia pun telah mengirim tim penjemputan untuk membawa Nazaruddin ke Indonesia. Namun, apakah proses penjemputan Nazaruddin ini akan semudah yang dianggap sebagian kalangan?

 

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan ada dua cara yang diatur oleh hukum internasional untuk membawa Nazaruddin ke Indonesia. Yakni, melalui deportasi atau melalui proses ekstradisi. “Sekarang tergantung call-nya dari mana?” ujarnya kepada hukumonline melalui sambungan telepon, Selasa (9/8).

 

Hikmahanto menjelaskan proses deportasi sepenuhnya berasal dari keputusan pemerintah Kolombia. “Deportasi bisa dilakukan bila Pemerintah Kolombia menilai bahwa Nazaruddin itu telah melanggar ketentuan keimigrasian di Kolombia,” ujarnya. Keputusan deportasi ini mutlak kewenangan pemerintah Kolombia tanpa keterlibatan pihak lain.

 

Beda halnya dengan ekstradisi. Hikmahanto menuturkan proses ekstradisi bisa dilakukan bila ada permintaan dari Indonesia. Untuk konteks ekstradisi ini, jelas Hikmahanto, ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, ekstradisi yang dilakukan antar polisi Kolombia dengan polisi Indonesia. Kedua, ekstradisi yang dilakukan antar pemerintah yang diwakili oleh menteri hukum dan HAM. 

 

“Ekstradisi melalui kepolisian itu lebih gampang. Sedangkan, ekstradisi melalui pemerintah lebih berbelit. Namun, ini kembali lagi ke Kolombia, mau memperlakukannya seperti apa?” ujarnya.

 

Hikmahanto menuturkan, saat ini Indonesia dan Kolombia memang tak memiliki perjanjian ekstradisi. Namun, itu bukan merupakan suatu halangan. Pasalnya, dalam melakukan ekstradisi bisa dilakukan berdasarkan suatu perjanjian atau hubungan baik antar negara. 

 

Lebih lanjut, Hikmahanto yakin pihak Kolombia mau ‘memberikan’ Nazaruddin melalui ekstradisi kepada Indonesia meski hanya didasari hubungan baik. Alasannya, karena Kolombia tak memiliki kepentingan khusus terhadap Nazaruddin. “Dia kan bukan investor yang pemerintah Kolombia merasa perlu lindungi,” jelasnya.

 

Selain itu, proses penangkapan Nazaruddin oleh Kepolisian Kolombia bisa sebagai indikasi awal bahwa pemerintah Kolombia mau menyerahkan Nazaruddin. “Indikasinya, otoritas sana (Kolombia) mau memborgol Nazaruddin ketika ditangkap. Itu kelihatan dia diperlakukan sebagai pelaku kejahatan. Lain halnya misalnya bila dia ke Singapura,” tuturnya.

 

Meski begitu, bukan berarti tugas tim penjemputan Nazaruddin dari pemerintah Indonesia menjadi lebih ringan. Hikmahanto meminta agar pemerintah Indonesia menyiapkan antisipasi langkah-langkah hukum yang akan dilakukan oleh Nazaruddin di Kolombia.

 

“Yang perlu diantisipasi oleh pemerintah Indonesia adalah upaya hukum Nazaruddin untuk meminta pengadilan setempat melakukan atau menyuruh pemerintah Kolombia tidak melakukan ekstradisi,” jelasnya lagi.

 

Bila langkah ini dilakukan oleh Nazaruddin maka proses pengembalian Nazaruddin ke Indonesia akan berlangsung lama. Pasalnya, pemerintah Indonesia harus menunggu proses pengadilan di sana memutus upaya hukum itu bila benar-benar diajukan oleh Nazaruddin.

 

Kekhawatiran Hikmahanto ini bukan tanpa alasan. Ia menunjuk kasus Hendra Rahardja yang mengajukan upaya hukum serupa ke pengadilan Australia dengan alasan bila pulang ke Indonesia, Hendra khawatir akan diperlakukan diskriminitif. Proses ekstradisi Hendra itu pun akhirnya gagal.

 

“Kebetulan pengacara Hendra kala itu dan pengacara Nazaruddin saat ini adalah orang yang sama, OC Kaligis,” ujarnya.

 

Berharap Deportasi

Pihak Kepolisian Indonesia juga memahami ‘ribet’nya proses ekstradisi. Karenanya, Polri lebih berharap bila Nazaruddin dibawa ke Indonesia melalui jalur deportasi. Apalagi, Nazaruddin sudah jelas-jelas melakukan pemalsuan identitas di dalam paspornya yang merupakan tindakan ilegal. Deportasi dianggap lebih efektif dibanding ekstradisi.

 

“Mudah-mudahan, kami dapat hasil jawaban dari mereka bisa memulangkan dengan cara dideportasi,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Selasa (9/8).

 

Namun, bila pilihan deportasi yang diinginkan, maka Indonesia harus menunggu kerelaan pemerintah Kolombia. Pasalnya, menurut Hikmahanto, deportasi merupakan kewenangan mutlak Kolombia, tidak bisa dilakukan atas dasar permintaan dari pemerintah Indonesia.

Tags: