Pernyataan ‘Peringatan’ Bukan Pencemaran Nama Baik
Utama

Pernyataan ‘Peringatan’ Bukan Pencemaran Nama Baik

Putusan MA itu dianggap penting dan layak dikaji. Ancaman tuduhan pencemaran nama baik tak hanya dari KUH Pidana.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Sebagai institusi pengadil, MA berusaha<br> beri batas  pasal karet. Foto: SGP
Sebagai institusi pengadil, MA berusaha<br> beri batas pasal karet. Foto: SGP

Pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUH Pidana dianggap sebagai pasal karet yang bisa ditarik ulur aparat penegak hukum. Sebagai institusi pengadil, Mahkamah Agung berusaha memberi batas agar pasal-pasal itu tak ditafsirkan seenak hati.

 

Putusan atas perkara 180 K/Pid/2010 ini, seperti dilansir dalam laman resmi Mahkamah Agung, bisa dijadikan contoh. Dipimpin langsung Ketua MA Harifin A. Tumpa, majelis hakim agung memutuskan bahwa rangkaian kata-kata yang berupa ‘peringatan’ kepada masyarakat tidak dapat diartikan sebagai upaya pencemaran nama baik seseorang. Perbuatan terdakwa membuat pengumuman bukan hanya dalam rangka memperjuangkan hak-hak terdakwa yang dirampas, tetapi juga memberi peringatan kepada masyarakat.

 

Kata-kata yang dianggap MA bukan pencemaran nama baik adalah “pihak-pihak yang memangku/membesarkan Sako Datuak Naro yang dilewakan tanggal 28 Juni 2008 adalah tidak sah”. Kalimat ini, kata majelis, tidak mengandung unsur niat para terdakwa mencemarkan nama baik korban.

 

Namun kalimat itulah yang nyaris mengantarkan Munizar alias Izar, Wandi, dan Supriadi masuk bui. Dua pengadilan judex factie menyatakan ketiga warga Jorong Ketinggian Kenagarian Guguk VIII Koto, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat itu terbukti secara bersama-sama melakukan penistaan melalui tulisan. Mereka dianggap melanggar pasal 310 ayat (2) KUH Pidana. Jaksa meminta hakim menjatuhkan hukuman masing-masing tiga bulan.

 

Pengadilan Negeri Tanjung Pati, Juni 2009 silam, menghukum Munizar dan Wandi masing-masing 15 hari penjara. Supriadi dihukum lebih besar, tiga bulan, lantaran perannya yang besar membuat tulisan. Hukuman itu memang tak perlu dijalani Supriadi kecuali ada perintah hakim karena terdakwa melakukan tindak pidana dalam masa percobaan enam bulan. Tiga bulan setelah putusan pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Sumatera Barat menguatkan putusan tersebut.

 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Hendrayana, menilai putusan MA tersebut sebagai sesuatu yang baru dan layak dikaji lebih lanjut. Masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya dan mengungkapkan perjuangan hak itu secara tertulis tidak selayaknya dipandang sebagai pencemaran nama baik orang yang nama atau kedudukannya disebut. “Itu putusan yang menarik”.

 

Pandangan Hendrayana sejalan dengan memori kasasi yang disampaikan para terdakwa. Para terdakwa telah mencoba berbagai sarana untuk menyelesaikan perdebatan tentang silsilah gelar adat Datuk. Lembaga Adat Nagari (LAN) juga sudah ditempuh, demikian pula lapor polisi dan wali nagari. Tetapi keluhan para terdakwa seolah tak mendapat respons memuaskan. “Kami dalam rangka memperjuangkan hak kami yang terampas dan dipalsukan oleh suatu persekongkolan,” demikian antara lain memori kasasi para terdakwa.

 

Pelapor kasus ini adalah Sun Sudarta, perwira Angkatan Udara berpangkat kolonel. Sudarta merasa nama baiknya dicemarkan karena para terdakwa membuat pengumuman yang menyebut Sudarta tak layak memangku gelar Datuak Naro.

 

Masalah ini muncul ketika pemangku soko Datuak Naro di Kanagarian Guguk VIII Kota, bernama Darnis, meninggal dunia. Tetua adat setempat setuju menunjuk Kol. Sun Sudarta sebagai pengganti. Gelar Datuak Naro itu dilewakan kepada sang kolonel pada 28 Juni 2008. Para terdakwa tidak senang atas penunjukan itu. Sebagai wujud ketidaksenangan, para terdakwa membuat pengumuman tertulis yang intinya menyatakan penunjukan Sun Sudarta tidak sah.

 

Ketiga terdakwa menegaskan keturunan yang membesarkan soko para terdakwa bukan orang Tanjung Ketinggian asli. Pengumuman yang diketik di atas kertas itu dibagi-bagikan kepada ninik mamak dan ditempel di sejumlah kedai di wilayah setempat. Bahkan diserahkan ke radio lokal untuk disiarkan. Belum ada konfirmasi baik dari jaksa maupun para terdakwa atas putusan MA ini.

 

Menurut Hendrayana, pasal pencemaran nama baik dalam KUH Pidana sangat mudah ditujukan kepada siapapun yang membuat tulisan, termasuk mereka yang mempertahankan hak-haknya. LBH Pers pernah mendokumentasikan kasus-kasus pencemaran nama baik, dimana pers menjadi sasaran.

 

Ancaman pencemaran nama baik tak hanya datang dari KUH Pidana. Hukuman enam bulan penjara yan dijatuhkan Mahkamah Agung kepada Prita Mulyasari gara-gara pencemaran nama baik bersumber pada UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Tags: