Organisasi Pengadilan: Dari Soepomo Hingga Pompe
Edisi Lebaran 2011:

Organisasi Pengadilan: Dari Soepomo Hingga Pompe

Literatur yang membahas pemikiran hakim agung masih minim.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Daniel S Lev. Dalam bukunya “Hukum dan Politik di Indonesia
Daniel S Lev. Dalam bukunya “Hukum dan Politik di Indonesia". Foto: SGP

Di hampir semua fakultas hukum di Tanah Air, tak ada yang secara khusus menjadikan sejarah Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya sebagai mata kuliah. Kalaupun dibahas, hanya menjadi bagian kecil dari mata kuliah Sejarah Hukum di pascasarjana, dan Pengantar Hukum Indonesia atau Sistem Hukum Indonesia di strata satu.

 

Karena itu, tidak mengherankan literatur yang membahas organisasi Mahkamah Agung secara khusus dan badan peradilan di bawahnya masih minim. Kajian-kajian tersebar memang banyak. Salah seorang penulis yang menaruh perhatian besar terhadap organisasi pengadilan adalah Daniel S Lev. Dalam bukunya “Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan” (1990), Lev banyak menyinggung sejarah lembaga penegak hukum di Tanah Air.

 

Sebelum itu, ada beberapa literatur klasik yang biasa dijadikan rujukan di kalangan akademisi, praktisi, dan peneliti hukum. Literatur pertama yang berbicara tentang stuktur peradilan dalam sistem hukum Indonesia dan sering dirujuk adalah karya Prof Mr Soepomo, “Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II”. Cetakan pertama buku ini terbit pada Mei 1953. Setahun kemudian dicetak ulang oleh NV Noordhoff-Kolff Jakarta. Buku ini mulai dari pembedaan sistem hukum yang berlaku berdasarkan golongan rakyat.

 

Kalau mau menarik garis sejarah lembaga peradilan ke masa yang lebih jauh, Anda bisa membaca buku klasik Mr R Tresna, “Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad”. Buku setebal 162 halaman dan diterbitkan NV V Versluys yang beralamat di jalan Teuku Umar 32 Jakarta itu membahas peradilan kuno, peradilan masa kerajaan Mataram, Priangan, Banten dan Cirebon. Lembaga peradilan terus hidup mengikuti waktu dan dinamikanya. Seperti ungkapan Horatius yang dikutip Tresna di awal bukunya: “Truditur dies die” (waktu tidak berhenti).

 

Buku saku “Organisasi dan Jurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia” bisa menjadi referensi Anda berikutnya. Buku ini ditulis mahaguru Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof Notosusanto, dan diterbitkan pada 1963.

 

Delapan tahun setelah buku Notosusanto terbit, seorang akademisi Universitas Gadjah Mada kembali menelurkan karya mengenai organisasi pengadilan. Sudikno Mertokusumo, mempertahankan disertasi doktor di Sitihinggil pada 18 Desember 1971. Berada di bawah bimbingan Hakim Agung Prof R Soekardono, Sudikno menulis “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia”.

 

Ketika Mahkamah Agung punya wet sendiri pada masa Orde Baru, yakni UU No 14 Tahun 1985, Soedirjo menulis buku “Mahkamah Agung, Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1985”, yang diterbitkan PT Media Sarana Press (1987). Mantan Ketua Mahkamah Agung, Prof R Subekti, juga tercatat pernah menulis buku “Kekuasaan Mahkamah Agung” yang diterbitkan Alumni Bandung (1992). Sepanjang Orde Baru, tak banyak referensi yang mengkritik Mahkamah Agung.

 

Buku tentang Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya yang mendalam dan kritis baru muncul setelah Orde Baru jatuh. Umumnya berangkat dari dunia akademisi. Buku “Krisis Peradilan, Mahkamah Agung  di Bawah Soeharto” (ELSAM, 2004) diangkat dari disertasi Andi Muhammad Asrun di Pascasarjana Universitas Indonesia. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta juga menghasilkan lulusan, A Mukti Arto, yang menulis buku “Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Baru” (Pustaka Pelajar, 2001). Penulis adalah seorang hakim pengadilan agama.

 

Menariknya, kalangan internal seperti A Mukti Arto berhasil membukukan gagasan-gagasan mengenai Mahkamah Agung. Dalam kategori ini bisa dimasukkan karya mantan hakim agung Henry P Panggabean, “Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari” (Sinar Harapan, 2001).

 

Lewat “The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse” (2005), Sebastiaan Pompe telah menjadikan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan sebagai lembaga menarik untuk dikaji. Untuk menghasilkan karya 477 halaman di luar indeks, Pompe bergaul puluhan tahun dengan isu-isu Mahkamah Agung. Bahkan ia ikut langsung mendorong pembaruan melalui sejumlah program.

 

Mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, berpendapat Pompe telah “meneliti sangat mendalam perjalanan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di Indonesia, baik secara normatif maupun sosiologis”. Bagir memuji karya Pompe sebagai salah satu hasil penelitian mengenai MA yang paling komprehensif. “Bagi saya, disertasi (buku) Saudara Sebastiaan Pompe, tidak sekedar bahan yang menambah ilmu, melainkan menjadi salah satu bahan yang sangat berguna dalam rangka pembaharuan pengadilan yang sedang dijalankan saat ini,” tulis Bagir dalam pengantar buku tersebut.

 

Akan lebih menarik lagi jika yang ditulis bukan hanya organisasi Mahkamah Agung dan peradlan di bawahnya. Menulis pemikiran-pemikiran hakim dengan segala dinamikanya tak kalah menarik. Sayang, literatur yang ditulis akademisi atau praktisi Indonesia masih terbilang minim. Untuk sekadar memberi contoh adalah buku Antonius Sudirman, “Hati Nurani Hakim dan Putusannya” (2007), yang secara khusus membahas pikiran dan pandangan Hakim Agung Bismar Siregar.

 

Karya-karya semacam itu sebenarnya sangat dibutuhkan. Apalagi banyak hakim yang punya pikiran maju dan putusan-putusannya juga prospektif. Itu sebabnya, mengetahui sejarah peradilan sangat penting. Bukan hanya mengetahui peran seorang hakim pada masanya, tetapi juga mengetahui raison d’etre yang dibangun sang hakim dalam putusan-putusannya.

 

Seperti ditulis Sudikno Mertokusumo dalam disertasinya “Dengan mengetahui sejarah perkembangan peradilan di Indonesia berarti mengetahui cara berfikir yuridis yang menghasilkan hukum pada masa yang lampau”.

 

Mungkin Anda punya literatur lain yang perlu diketahui pembaca? 

Tags: