Buku Hukum Adat, Kolaborasi Ayah-Anak
Edisi Lebaran 2011:

Buku Hukum Adat, Kolaborasi Ayah-Anak

Buku ‘Hukum Adat Indonesia’ yang dijadikan rujukan di beberapa fakultas hukum ternyata bukan asli buah pemikiran Soerjono Soekanto.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Buku ‘Hukum Adat Indonesia’ buah pemikiran Soerjono Soekanto. Foto: SGP
Buku ‘Hukum Adat Indonesia’ buah pemikiran Soerjono Soekanto. Foto: SGP

Apa buku yang Anda gunakan ketika mempelajari hukum adat di fakultas hukum? Mungkin jawabannya tidak banyak. Salah satu yang populer adalah buku Hukum Adat Indonesia karya Soerjono Soekanto. Beberapa pengajar mata kuliah hukum adat yang dihubungi oleh hukumonline mengakui keunggulan buku ini dibanding buku sejenis yang ditulis oleh orang Indonesia.

 

Pengajar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Afdol mengatakan buku karya Soerjono –bersama Soleman B Taneko- ini sudah dipakai secara turun temurun di kampus jaket kuning itu. “Ini sudah dipakai sejak saya kuliah pada 1982, hingga sekarang,” tuturnya melalui sambungan telepon, Selasa (23/8).

 

Ada berbagai alasan mengapa buku ini menjadi salah satu literatur ‘wajib’ ketika mempelajari hukum adat. “Kenapa sering dipakai? Mungkin karena bahasanya lebih mudah kita cerna,” ujar Afdol. Ini disebabkan Soerjono juga memiliki latar belakang sosiologi hukum sehingga bahasanya lebih mengalir dan mudah dipahami layaknya karya ilmuwan ilmu sosial lainnya.

 

‘Keunggulan’ ini, lanjut Afdol, justru sekaligus kelemahan ketika materi buku ini diajarkan kepada para mahasiswa jurusan hukum. “Karena kan di Fakultas Hukum lebih ke norma-norma hukum, sedangkan buku ini condong ke ilmu sosial, sehingga kadang kurang relevan. Kelemahannya ya karena agak sosiologis. Tapi, bukunya memang lebih enak dibaca dan gampang dicerna,” jelasnya.

 

Afdol mencontohkan istilah ‘hak ulayat’ (hak masyarakat adat) yang tertulis dalam buku ini. Ia menjelaskan di buku-buku hukum adat yang ditulis pakar yang lain, sering digunakan ‘hak purba’ sebagai ganti istilah ‘hak ulayat’. “Hak purba itu kan nggak lazim kita dengar,” tuturnya.

 

Selain mengagumi buku karyanya, Afdol juga mengaku mengagumi sosok Guru Besar Sosiologi Hukum Unversitas Indonesia ini ketika berinteraksi di bangku kuliah dulu. “Beliau adalah profesor yang paling menarik, artinya enak didengar, menggunakan contoh aktual, bahasanya enak dan sistematis. Salah satu profesor yang enak cara mengajarnya di FHUI itu ya, Prof Soerjono,” ungkapnya.

 

Di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad), buku karya Soerjono ini juga menjadi salah satu rujukan. Pengajar Hukum Adat FH Unpad Bambang Daru Nugroho menuturkan, buku ‘Hukum Adat Indonesia’ ini menggambarkan sifat hukum adat yang sesungguhnya, yakni dinamis dan fleksibel. “Buku ini selain melihat kekinian, juga melihat masa lalu dan masa depan,” ujarnya.

 

Bambang membandingkan buku karya Soerjono ini dengan buku hukum adat karya peneliti dari Belanda, Prof Ter Haar yang juga kerap menjadi rujukan. “Bukunya Ter Haar menggambarkan hukum adat sebagai hukum nenek moyang, leluhur yang sifatnya menjaga sisi keadilan dan kepastian hukum. Kalau bukunya Soerjono, menggambarkan hukum adat sebagai bentuk dinamis, hukum yang sangat sesuai dengan situasi apa pun,” ujarnya.

 

Karenanya, lanjut Bambang, masyarakat modern pun tetap bisa menggunakan buku hukum adat sebagai referensi penegakan hukum. Misalnya, alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti mediasi yang sedang dikembangkan saat ini. Itu kan berasal dari hukum adat yang berbicara keselarasan, win-win solution,” jelasnya.

 

Meski memuji buku karya Soerjono ini, baik Afdol maupun Bambang tetap menilai perlu menggunakan literatur hukum adat lain bila ingin mempelajari hukum adat secara komprehensif. Di antaranya, buku karya Prof Iman Sudiat, Ter Haar, Soepomo atau buku-buku Prof Hazairin yang beberapa di antaranya juga menyinggung antara hukum adat dan hukum Islam.

 

Warisan Orangtua

Orang mungkin boleh saja memuji karya Soerjono ini, tetapi sejatinya buku Hukum Adat Indonesia bukan asli dari pemikiran Soerjono sendiri. Ia menulis buku tersebut dengan mengembangkan buku hukum adat ‘warisan orangtuanya. Ya, Soerjono (1942-1990) adalah anak tunggal Guru Besar Hukum Adat UI Prof Mr Soekanto (1905-1961).

 

Buku milik Prof Mr Soekanto itu berjudul Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengatar untuk Mempelajari Hukum Adat yang diterbitkan pada 1954. Kala itu, sangat sedikit buku hukum adat yang bisa dijadikan rujukan oleh mahasiswa. Kebanyakan buku hukum adat yang ada ditulis oleh para sarjana hukum Belanda.

 

“Salah satu kesulitannya adalah buku-buku dan karangan-karangan lain tentang hukum (adat) kita tidak sedikit, tetapi kebanyakan ditulis dalam bahasa asing,” jelas Prof Soekanto dalam pengantar bukunya.

 

Meski begitu, Prof Soekanto tentu bisa berbangga diri, karena buku yang dihimpunnya secara susah payah itu (kemudian dikembangkan oleh anaknya Soerjono Soekanto) kini memudahkan ribuan para sarjana hukum mempelajari hukum adat. Sudah sepantasnya bila Indonesia mengucapkan terima kasih kepada duet bapak-anak ini.

Tags: