Tarif Bea Keluar Resahkan Pengusaha Sawit
Berita

Tarif Bea Keluar Resahkan Pengusaha Sawit

Pemerintah diminta merevisi PMK No. 128/PMK 011/2011.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Tarif bea keluar resahkan pengusaha sawit. Foto: Ilustrasi (SGP)
Tarif bea keluar resahkan pengusaha sawit. Foto: Ilustrasi (SGP)

Para pengusaha industri sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) keberatan dengan penerapan aturan bea keluar (BK). Mereka meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 128/PMK 011/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar sebagai perubahan atas PMK No 67/PMK.011/2010.

 

Kehadiran PMK No 128/PMK 011/2011 pada tanggal 15 Agusus lalu, tidak membuat para pengusaha sawit tenang. Mereka mengeluhkan tarif BK yang tertuang dalam aturan baru tersebut. Ternyata tarif BK sekarang lebih tinggi pada tingkat harga di bawah AS$1.100 terutama pada tingkat harga AS$950-AS$1.100.

 

“Tidak ada perubahan signifikan dalam skema dan tarif BK sekarang dengan sebelumnya,” ujar Direktur Eksekutif GAPKI Fadhil Hasan, Rabu (7/9).

 

Fadhil memperkirakan harga CPO tahun ini dan mendatang akan berada pada kisaran AS$1.000-AS$1.100. Dengan demikian, katanya, pernyataan pemerintah tarif BK yang berlaku sekarang lebih rendah adalah menyesatkan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Pengenaan tarif BK yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya membuktikan bahwa BK adalah instrumen penerimaan negara.

 

Untuk diketahui, dalam PMK No 128/PMK 011/2011 batas minimum pengenaan BK untuk CPO sebesar AS$750 per ton, sedangkan pada PMK yang lama adalah AS$700. Demikian pula batas atas dari BK untuk CPO pada PMK yang baru ditetapkan 22,5 persen atau turun dari ketentuan pada PMK yang lama sebesar 25 persen pada tingkat harga AS$1.250. Untuk produk hilir refine bleach deodorize, bila semula dikenakan tarif BK sebesar maksimum 25 persen, sekarang maksimum 10 persen.

 

“Pertanyaannya adalah, mengapa produk hilir masih tetap dikenakan BK? Bukankah ini justru bertentangan dengan upaya mendorong pengembangan industri hilir itu sendiri,” tanya Fadhil.

 

Dia melanjutkan, jika pemerintah serius maka produk hilir CPO seharusnya tidak dikenakan BK. Bahkan, pemerintah mestinya memberikan insentif pajak maupun non-pajak untuk pengembangan industri hilir CPO. Adanya perbedaan tarif BK yang cukup signifikan antara CPO dan produk turunannya hanya memberikan insentif lebih lebar bagi adanya smuggling ekspor CPO.

 

Selain itu, Fadhil menegaskan tidak ada bukti sampai sekarang kalau BK bermanfaat mendorong pengembangan industri pengolahan CPO di dalam negeri. Data semester I-2010 menunjukkan, ekspor produk turunan CPO secara persentase lebih rendah dibandingkan ekspor semester I-2011. Padahal tarif BK pada semester I-2011 lebih tinggi dibanding semester I-2010.

 

Para pelaku industri sawit mengatakan pengenaan BK untuk CPO dan produk turunannya telah membawa dampak negatif bagi pengembangan industri CPO secara keseluruhan. Biaya ekonomi pengenaan BK jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh sehingga ekonomi dirugikan secara keseluruhan.

 

Aturan BK ini juga menambah beban dan menimbulkan high cost economy. Kenyataan menunjukkan, BK tidak berdampak mengurangi pungutan di berbagai daerah. Justru sebaliknya, BK mendorong pemerintah daerah menetapkan berbagai pungutan terhadap CPO, karena BK tidak dapat dikembalikan ke daerah maupun digunakan untuk pengembangan industri CPO secara keseluruhan.

 

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dedi Saleh, menyarankan agar pengusaha yang tergabung dalam GAPKI mengusulkan kepada pemerintah agar menggunakan dana BK untuk membantu petani dalam mengembangkan infrastruktur.

 

Kendati demikian, Dedi menegaskan semua aturan yang tertuang dalam PMK No 128/PMK 011/2011 sudah final. “Dari berbagai sudut pandang pemerintah, tarif BK sudah merupakan instrumen yang cukup berhasil menangani masalah-masalah kepentingan dalam penyediaan bahan baku dan hilirisasi,” katanya.

Tags: