Advokat Bukan Penegak Hukum Dalam Perkara Nazaruddin
Kolom

Advokat Bukan Penegak Hukum Dalam Perkara Nazaruddin

Pasal yang mengatur advokat berstatus penegak hukum bertentangan dengan fungsi advokat dan sifat bebas dan independen

Bacaan 2 Menit
Advokat Bukan Penegak Hukum Dalam Perkara Nazaruddin
Hukumonline

Koruptor melarikan diri ke luar negeri yang kemudian menjadi buronan saat ini sudah bukan lagi suatu fenomena baru di Indonesia, namun sudah menjadi layaknya suatu kebiasaan yang saat ini sudah tidak tabu lagi didengar dalam pemberitaan di media massa dari zaman Orde Baru hingga sekarang.

 

Kejadian sekitar tahun 1993-1995, Indonesia dihebohkan oleh pembobolan Bank Bapindo senilai Rp1,3 triliun yang dilakukan oleh Edy Tanzil. Bisa dibayangkan seberapa besar nilai uang yang “dirampok” pada tahun itu, namun meskipun dijatuhi penjara 20 tahun, tapi dia berhasil melarikan diri dan saat ini hilang seperti ditelan bumi, kemudian kasusnya pun terkubur.

 

Pada pemberitaan lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak 2001 hingga saat ini ada 45 koruptor telah dan pernah melarikan diri. Pelarian baru-baru ini dilakukan Muhammad Nazaruddin, seorang bendahara umum partai berkuasa yang diduga terlibat kasus suap pembangunan wisma atlet Sea Games di Palembang yang merugikan negara Rp25 miliar. Kejadian pelarian oleh para koruptor kemudian menjadi marak di negara kita, dan aparat penegak hukum pun terlihat tidak ada tindakan nyata dan tegas dalam melakukan pencarian dan pengembalian tersangka.

 

Pertanyaan bermunculan mengenai tanggung jawab siapakah untuk memulangkan seorang buronan ini sebenarnya, apakah penegak hukum atau seorang advokat sebagai orang terdekat dengan kliennya yang menjadi buronan negara. Dalam banyak kesempatan sering dinyatakan dan diartikan bahwa advokat adalah penegak hukum begitu pula dinyatakan UU Advokat. Sebabnya dan asal muasal advokat dikenal sebagai penegak hukum mungkin dari konsep Catur Wangsa yang dikembangkan semasa pemerintahan Orde Baru ditahun 1970-an. Yang dimaksud Catur Wangsa waktu itu adalah hakim, jaksa, polisi dan advokat.

 

Kemungkinan besar dari konsep itulah advokat dianggap sebagai penegak hukum (law enforcement official). Padahal menurut pengertian dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) advokat sebagai profesi hukum (legal profession) keberadaannya berseberangan dengan penegak hukum seperti jaksa dan polisi. Fungsi advokat dalam sistem peradilan pidana adalah membela klien yang sedang diperiksa (disidik), diinterogasi, didakwa atau dituntut baik di luar maupun didalam pengadilan.

 

Profesi advokat secara akademik tidak pernah diartikan sebagai penegak hukum, tetapi dikenal dan diartikan sebagai legal counsel atau lawyer atau advokat atau attorneyHal ini akan lebih jelas lagi apabila kita mengacu kepada instrumen internasional yang terdapat di dalam Commentary (a) Pasal 1 United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Adopted by General Assembly Resolution 34/169 of 17 December 1979 yang menyatakan: “The term "law enforcement officials", includes all officers of the law, whether appointed or elected, who exercise police powers, especially the powers of arrest or detention.”

 

Jadi ciri penegak hukum adalah adanya fungsi “police power” yaitu hak untuk menangkap (to arrest) atau hak untuk menahan (to detain), sedangkan advokat sebagai profesi hukum tidak memiliki “police powers” tersebut. Justru seorang advokat harus mencoba membebaskan, meringankan, mengubah dan menghindar dari tuntutan hukum, penangkapan dan penahanan oleh penegak hukum. Advokat tidak dilengkapi dengan “police powers” tetapi advokat adalah profesi bebas dan independen yang tugasnya membela kepentingan dan hak hukum serta hak asasi manusia kliennya.

Tags: