Fenomena Mahasiswa Diktator
Edisi Lebaran 2011:

Fenomena Mahasiswa Diktator

Bahasa sederhana dan ringkas menjadi alasan kenapa diktat lebih digemari ketimbang buku.

Oleh:
M-10/M-11
Bacaan 2 Menit
Bahasa sederhana dan ringkas menjadi alasan kenapa diktat lebih digemari ketimbang buku. Foto: SGP
Bahasa sederhana dan ringkas menjadi alasan kenapa diktat lebih digemari ketimbang buku. Foto: SGP

Masa-masa ujian atau awal semester mungkin menjadi momen yang paling dinantikan kios-kios fotokopi yang bertebaran di lingkungan kampus. Di saat itu, kios fotokopi menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi kalangan mahasiswa. Tujuan mereka biasanya hanya satu, yakni berburu diktat. Menjelang ujian biasanya aktivitas kalangan mahasiswa yang secara kelakar disebut “diktator” itu meningkat. Imbasnya, kios-kios fotokopi pun menuai keuntungan berlimpah.

 

Praktik “diktator” telah berlangsung dari generasi ke generasi. Di kios-kios fotokopi bahkan tersedia beberapa diktat ‘legendaris’ yang dibuat belasan tahun silam. Uniknya, keberadaan diktat relatif lebih populer ketimbang buku-buku teks. Padahal, penulis buku teks jelas-jelas lebih ‘kredibel’, setidaknya dari keilmuan mengingat mereka bergelar profesor atau doktor.

 

Salah satu mahasiswi FHUI angkatan 2007, Wilda Heryati, tidak sungkan-sungkan mengakui dirinya sebagai “diktator”. Wilda mengaku hobi mengoleksi dan membaca diktat ketimbang buku. Kegiatan ini biasanya ia lakukan menjelang ujian. Menurut Wilda, fenomena diktator muncul karena diktat pada kenyataannya memang lebih mudah dimengerti ketimbang buku.

 

“Saya juga lebih suka diktat yang dibuat oleh senior. Ada satu penulis diktat favorit saya di kampus, mahasiswa angkatan 2004 yang sudah lulus. Dia banyak menulis diktat untuk beberapa mata kuliah. Bahasa diktatnya bahasa mahasiswa jadi sangat friendly untuk belajar,” tutur Wilda.

 

Seperti yang dikisahkan Wilda, pencipta diktat biasanya seorang senior yang rajin mencatat materi kuliah yang kemudian disusun sedemikian rupa menjadi sebuah diktat. Terkadang, dosen juga bisa menjadi pencipta diktat dengan tujuan agar mahasiswa dapat memahami materi perkuliahan lebih mudah. Umumnya, diktat buatan dosen ditujukan untuk kalangan terbatas.

 

“Jujur saja dibandingkan dari buku saya lebih suka belajar dari diktat. Bahasa dalam diktat lebih sederhana dan garis besar pemikiran yang disampaikan soal suatu permasalahan jadi lebih mudah dimengerti. Selain itu, dosen biasanya memang lebih suka jawaban saat ujian yang sesuai dengan bahasa diktat. Jadi, lebih mudah dapat nilai bagus saat ujian,” papar Trijata Ayu Pramesti, mahasiswa FHUI yang baru saja lulus.

 

Imron Rosadi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember, mengatakan bahasa adalah faktor utama di balik ketenaran diktat. Bahasa yang ringkas dan sederhana membuat mahasiswa lebih mudah memahami materi kuliah ketimbang mereka membaca buku. Menurutnya, popularitas diktat satu kampus bisa saja merambah kampus lain. “Saya suka juga baca diktat dari dosen kriminologi UI,” akunya.

 

Namun, Imron tak menjadikan diktat sebagai satu-satunya sumber belajar. Ia mengaku tetap rajin menggali ilmu dari buku. Menurutnya, keringkasan diktat terkadang juga dapat mengakibatkan mahasiswa kesulitan memahami materi perkuliahan. Atas alasan inilah, Siti Suciwati, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, mengaku lebih memilih buku ketimbang diktat dalam belajar.

 

“Diktat kan diringkas dari buku, jadi ulasannya seringkali terlalu ringkas. Sedangkan kalau kita belajar dari buku, materinya lebih komprehensif dan luas. Banyak juga materi yang dibahas di buku yang enggak diajarkan di kelas,” tandas Suci.

 

Menyikapi fenomena ini, seorang pengajar hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fatmawati mengatakan maraknya penggunaan diktat adalah sesuatu hal yang lumrah. Berdasarkan pengamatannya, popularitas diktat biasanya meningkat tajam di saat menjelang ujian. Namun, dia mengingatkan bahwa membaca buku teks tetap penting, setidaknya untuk kepentingan ilmiah.

 

“Setiap universitas tentu memiliki tradisi ilmiah yang berbeda, itulah mengapa referensi yang dipergunakan dosen berbeda untuk topik-topik yang sama. Ini yang harus disadari mahasiswa bahwa dengan mengikuti materi perkuliahan yang disampaikan dan membaca buku-buku yang disarankan, nantinya mahasiswa dapat meneruskan tradisi ilmiah ini,” jelas Fatmawati.

Tags: