Freeport dan Newmont Enggan Renegosiasi Kontrak
Berita

Freeport dan Newmont Enggan Renegosiasi Kontrak

Pemerintah masih berupaya mengajak keduanya untuk merenegosiasi kontrak pertambangan.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Newmont masih menolak renegosiasi. Foto: newmont.co.id
Newmont masih menolak renegosiasi. Foto: newmont.co.id

Dua perusahaan tambang terbesar di Indonesia, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, belum bersedia melakukan negosiasi ulang (renegosiasi) kontrak yang telah ditawarkan pemerintah. Hal ini dikatakan Direktur Jendral Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Thamrin Sihite, Selasa (27/9).

 

Pemerintah masih kesulitan untuk membujuk Freeport dan Newmont merenegosiasi kontrak pertambangan. Namun, pemerintah mengaku akan terus berupaya secara persuasif mengajak keduanya melakukan renegosiasi. “Sesuai amanat undang-undang, kontrak pertambangan harus direnegosiasi,” ujar Thamrin.

 

Menurutnya, perusahaan tambang harus memahami ketentuan minimal pembayaran royalti yang tercantum dalam PP No 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian ESDM.

 

Dalam PP itu, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonnase. Namun ada pengecualian untuk PT Freeport McMorran. Perusahaan tambang asal AS yang beroperasi di Papua ini hanya dikenakan sebesar 1 persen dari harga jual kali tonnase.

 

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga kini terdapat 42 perusahaan yang terikat kontrak karya dan 76 perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Dari jumlah itu, 65 persen telah menyatakan setuju melakukan renegosiasi.

 

Sebelumnya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah akan melakukan renegosiasi kontrak pertambangan kepada seluruh perusahaan tambang di Indonesia tak terkecuali Freeport.

 

Beberapa kewajiban yang akan ditekankan pemerintah dalam kontrak baru pertambangan itu mulai dari pembagian royalti, kewajiban memproses di dalam negeri, perpanjangan/perluasan kontrak, aturan divestasi saham, dan lain sebagainya. Bahkan, pemerintah mengarahkan soal kewajiban alokasi distribusi produk tambang ke dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

 

Sejumlah elemen masyarakat sering mengingatkan pemerintah terkait hal ini. Indonesian Human Right Committe for Social Justice (IHCS), misalnya. Senin (26/9) di DPR, IHCS mendesak pemerintah dan DPR untuk berani merenegosiasi kontrak Freeport.      

 

Sekjen IHCS  Gunawan menjelaskan, di dalam kontrak karya I Freeport, tidak ada kewajiban perusahaan untuk membayar royalti emas. Namun, setelah ketahuan bahwa Freeport menambang emas, baru dalam kontrak karya II Freeport wajib membayar royalti emas sebesar satu persen. Lantas, kemudian muncul PP Nomor 45 Tahun 2003. “Tapi ternyata PP tersebut tidak berlaku untuk Freeport,” katanya.

 

Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, mengatakan renegosiasi KK pertambangan pada intinya untuk kepentingan negara dan rakyat. Sayangnya, perusahaan tambang yang menolak renegosiasi selalu berlindung di balik pernyataan bahwa durasi kontrak sekian lama harus dihormati.

 

Marwan juga menyinggung Pasal 169 dalam UU Minerba. Poin a  disebutkan, KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini akan tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak maupun perjanjian.

 

Sedangkan pada poin b dikatakan, ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B harus disesuaikan paling lambat 1 tahun setelah undang-undang diberlakukan, kecuali terkait penerimaan negara. Penerimaan negara yang dimaksud adalah upaya-upaya peningkatan penerimaan negara. Kedua pasal ini dinilai membingungkan.

 

Di satu sisi, undang-undang ini memperbolehkan KK dan PKP2B yang sudah ada tetap berlaku hingga masa kontrak atau perjanjiannya selesai. Tetapi dalam menjalani sisa berlakunya, ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan perjanjian harus disesuaikan dengan undang-undang yang baru.

 

Dijelaskan Marwan, hal penting lainnya yang harus dimasukkan dalam negosiasi ulang adalah penempatan wakil dari pemerintah Indonesia sebagai salah satu direktur di perusahaan pertambangan milik asing. “Posisi ini penting agar Indonesia tidak selalu dirugikan,” katanya.

Tags: