Cara MA Memutus Perkara Dinilai Kuno
Seleksi Hakim Agung:

Cara MA Memutus Perkara Dinilai Kuno

Sistem pembuatan putusan di MA yang saat ini bukan hanya membuat tunggakan perkara semakin banyak, tetapi justru menguntungkan hakim agung yang malas.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Cara Mahkamah Agung memutus perkara dinilai kuno. Foto: SGP
Cara Mahkamah Agung memutus perkara dinilai kuno. Foto: SGP

‘Sistem roda berjalan’ itulah cara para hakim agung memutus perkara di Mahkamah Agung (MA). Konsep sistem ini adalah para anggota majelis hakim secara bergantian membaca berkas perkara. Misalnya, dalam satu perkara yang diperiksa oleh satu majelis hakim yang terdiri dari tiga anggota hakim. Maka, berkas perkara pertama kali diserahkan ke hakim pertama (pembaca satu) untuk diberikan pendapatnya, hingga ke hakim ketiga, lalu perkara diputuskan.

 

Calon Hakim Agung Suhadi berjanji akan berupaya mengubah sistem ini bila kelak terpilih sebagai hakim agung. Suhadi menilai sistem ini yang menjadi salah satu faktor banyaknya tunggakan perkara di MA. “Kalau pembaca satu lemah, maka (perkara) tersendat di sana. Begitu juga bila pembaca dua lemah. Lama baru sampai ke pembaca tiga. Ini yang jadi hambatan perkara lama diputus,” ujarnya dalam fit and proper test calon hakim agung di Komisi III, Kamis (29/9).

 

Di era teknologi modern seperti saat ini, Suhadi menilai sistem ini perlu direformasi. Berkas perkara tak perlu lagi digilir seperti itu. Pria yang menjabat sebagai Panitera MA ini berharap ke depan cara memutus dilakukan secara simultan. “Mereka diberi kesempatan menilai. Lalu, adu argumentasi. Itu lebih objektif dan putusannya leih bernilai,” tuturnya.

 

Anggota Komisi III dari PAN Yahdil Abdi Harahap mempertanyakan apakah sistem ini mendesak untuk diubah. “Apa perlu sistem ini diubah? Mereka (para anggota majelis) cukup berkumpul, dua kali sidang, lalu selesai. Sistem ‘pembaca’ ini sangat menghambat,” pancingnya.

 

Suhadi mengatakan ini salah satu yang akan ia perjuangkan bila terpilih sebagai hakim agung. Menurutnya, perubahan sistem pembuatan putusan di MA ini tak terlalu sulit diubah. Apalagi, berdasarkan Surat Edaran MA (SEMA) No 14 Tahun 2010, berkas perkara yang masuk ke MA sudah disertai soft copy.

 

“Pengadilan pengaju (Pengadilan Negeri) mengajukan perkara harus dengan soft copy. Nanti tinggal digandakan. Dengan sekeping CD, kita kasih waktu hakim itu membaca misalnya enam perkara minggu ini. Minggu berikutnya mereka akan musyawarahkan apa yang telah mereka baca dan berikan pendapat. Nanti mereka akan adu argumentasi. Ini lebih bagus,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Suhadi menuturkan sistem ini sudah diterapkan di negara-negara maju. “Di Australia juga seperti ini. Ada namanya buku perkara. Pendapatnya dituangkan di situ. Lalu, dirapatkan apa pendapatnya masing-masing,” jelasnya lagi.

 

Hakim Malas

Suhadi menilai selain akan mengurangi tunggakan perkara, sistem yang diusulkannya ini juga akan ‘mencambuk’ para hakim agung yang malas. Selama ini, bila menggunakan ‘sistem roda berjalan’, hakim yang berposisi pembaca kedua yang malas biasanya hanya akan memberi tanda CF ke dalam berkas perkara. Maksudnya adalah confirm atau pembaca kedua setuju dengan pembaca pertama.

 

“Karena sistem roda berjalan seperti itu. Kalau hakim di pembaca dua tak mau pusing, biasanya tinggal tulis confirm saja dengan pembaca satu. Tapi, kalau sama-sama pegang berkas perkara, mau tak mau dia harus menggali pikirannya masing-masing terhadap perkara yang ditangani. Itu akan lebih hidup,” jelasnya.

 

Anggota Komisi III dari PPP Ahmad Yani setuju dengan konsep yang ditawarkan oleh Suhadi ini. “Itu benar. Karena pembaca-pembaca yang bergiliran. Hakim malas hanya akan tullis CF-CF. Kalau anda terpilih, saya setuju dengan Pak Yahdil, ini harus anda perjuangkan,” pungkasnya.

Tags: