Penyelesaian Hukum Korban Stigma 65 Berjalan Lambat
Berita

Penyelesaian Hukum Korban Stigma 65 Berjalan Lambat

Kalah cepat dibanding dengan penyelesaian secara budaya.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Diskusi peluncuran buku ‘Stigma 65’ di LBH Jakarta. Foto: SGP
Diskusi peluncuran buku ‘Stigma 65’ di LBH Jakarta. Foto: SGP

Berusia 73 tahun Effendi Saleh masih mampu menceritakan secara gamblang kejadian yang terjadi lebih dari 40 tahun itu, tepatnya pada 1965. Kala itu ia bersama pemuda lain mengikuti pelatihan militer yang diselenggarakan Komando Distrik Militer (Kodim) Jakata Pusat. Pelatihan itu digelar bagi para sukarelawan yang siap berperang dengan Malaysia.

 

“Sebulan kemudian pelatihan dipindahkan ke daerah Lubang Buaya, Halim Perdana Kusumah Jakarta Timur. Yang melatih langsung dari AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia),” tutur Effendi kepada hukumonline usai diskusi peluncuran buku ‘Stigma 65’ di LBH Jakarta, Jumat (30/9). Dalam pelatihan itu, ia diberikan seragam dan dilengkapi dengan senjata.

 

Tak lama berselang terjadilah peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal yang kemudian lebih dikenal dengan Gerakan 30 September (G.30.S) 1965. Di penghujung tahun 1969 Effendi ditangkap dan ditahan dengan tuduhan terlibat Pemuda Rakyat, organisasi pemuda PKI, karena aktifitasnya dalam pelatihan militer. “Padahal yang melatih kami dari AURI. Bahkan ada juga yang ikut berlatih itu dari Pemuda Ansor.”

 

Tanpa proses persidangan, Effendi harus menjalani hidup di dalam tahanan di beberapa tempat. Di rumah tahanan Salemba, Tangerang, Nusakambangan hingga Pulau Buru. Tempat terakhir disebut dikenal sebagai tempat pengungsian tahanan politik yang terletak di daerah Kepulauan Maluku.

 

Setelah melakoni masa tahanan hingga lebih kurang 10 tahun, pada 1979 Effendi dibebaskan. Namun ternyata bukan hanya ia sendiri yang merasakan getirnya kehidupan sebagai tahanan politik. Anggota keluarganya juga mendapat perlakuan diskriminatif karena mendapat stigma sebagai anggota keluarga organisasi terlarang.

 

Nani Nurani mengalami nasib serupa Effendi. Perempuan kelahiran Cirebon 23 Februari 1941 itu juga pernah ditahan selama tujuh tahun tanpa proses peradilan. Ia ditahan hanya karena pernah menari pada perayaan ulang tahun PKI pada 1965. Padahal keikutsertaannya dalam acara itu pun karena ia adalah penari di Istana Cipanas.  

 

Penderitaan Nani tak berhenti walau dibebaskan dari tahanan Bukit Duri Jakarta Selatan pada 1976. Ia masih harus merasakan diskriminasi dalam administrasi kependudukan. Sebagai mantan tahanan politik, ia masih diwajibkan melapor ke Kecamatan Koja Jakarta Utara. Ironisnya lagi, ketika usia Nani melewati angka 60, Camat Koja tak mau memberikan Kartu Tanda Penduduk seumur hidup karena Nani dianggap terlibat organisasi terlarang. Nani terpaksa menempuh upaya hukum atas tindakan Camat Koja. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta akhirnya mengabulkan gugatan Nani. Terakhir, Mahkamah Agung menguatkan putusan itu.

Tags: