Polemik UI Berakar pada Kebijakan Nasional
Kolom

Polemik UI Berakar pada Kebijakan Nasional

Permasalahan yang terjadi di UI tidak terlepas dari kebijakan privatisasi pendidikan di tataran nasional.

Bacaan 2 Menit
Polemik UI berakar pada Kebijakan Nasional. Foto: SGP
Polemik UI berakar pada Kebijakan Nasional. Foto: SGP

Kontroversi pemberian penghargaan Honoris Causa oleh Universitas Indonesia (UI) kepada Raja Saudi Arabia Abdullah bin Abdul Azis menjadi perdebatan publik. Kecaman terutama datang dari kalangan aktivis buruh migran yang menuding Raja Abdullah melakukan pembiaran sehingga pelanggaan HAM terhadap buruh migran Indonesia terus terjadi di Arab Saudi.

 

Selain itu, gelombang kecaman yang lebih deras juga muncul dari kalangan ‘keluarga’ UI sendiri. Mereka antara lain para Guru Besar, pekerja, alumni, atau bahkan mahasiswa. Kecaman dari internal langsung mengarah pada Rektor Gumilar Rusliwa Sumantri. Makanya, kritikan kemudian bergulir menjadi tuntutan agar Gumilar turun dari jabatan Rektor UI.

 

Apabila ditelusuri lebih jauh, ‘kesalahan’ Rektor UI sebenarnya tidak sebatas pemberian gelar Honoris Causa kepada Raja Arab Saudi. Di luar itu, sederet kebijakan yang dinilai tidak tepat juga menjadi pemicu kecaman. Mahalnya biaya pendidikan, tidak adanya sistem check and balances, dan tidak adanya status kepegawaian yang jelas merupakan persoalan besar yang pada akhirnya ‘meledak’ di momen pemberian gelar Raja Abdullah.

 

Masalah-masalah lain tersebut di atas bahkan sudah muncul sejak era Rektor Usman Chatib Warsa, pendahulu Gumilar Rusliwa Sumantri. Pada tahun 1999, misalnya, mahasiswa UI menggelar demo besar-besaran terkait pemberlakuan Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar Rp750 ribu. Menyusul kemudian, UI beralih status menjadi badan hukum, melalui Peraturan Pemerintah No 152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara.

 

Jadi, persoalan di UI tentulah bukan sekedar pemberian gelar, bukan pula sekedar tentang tata kelola yang dianggap bermasalah karena Majelis Wali Amanah UI terancam dibubarkan. Lebih dari itu, permasalahan UI terkait erat dengan kebijakan nasional. Sehingga, sangat relevan membicarakan keterkaitan polemik UI dengan rezim badan hukum pendidikan, yang sangat mungkin akan terjadi di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

 

Hadirnya konsep BHMN, memang terkait erat dengan wacana membadanhukumkan semua lembaga pendidikan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu yang lalu. UI, disusul oleh enam Perguruan Negeri lainnya, dijadikan laboratorium uji coba pemberlakukan badan hukum pendidikan melalui status BHMN tersebut.

 

Bentuk badan hukum bagi lembaga pendidikan muncul dari semangat otonomi pendidikan. Berbagai permasalahan birokrasi menjadi alasan kebutuhan lembaga pendidikan untuk menjadi otonom, baik dari segi tata kelola maupun keuangannya. Baik di PP 152 Tahun 2000 maupun Undang-undang BHP menyatakan kekayaan awal Universitas berasal dari APBN berupa kekayaan Negara yang dipisahkan. Itulah yang mengakibatkan lembaga pendidikan dengan bentuk badan hukum tersebut dapat dipailitkan.

Tags: