Eksepsi Terdakwa Persoalkan Otopsi Irzen Octa
Berita

Eksepsi Terdakwa Persoalkan Otopsi Irzen Octa

Otopsi ulang semestinya atas permintaan penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
Istri Almarhum Irzen Okta bersama dengan tim pengacaranya di PN Selatan. Foto: SGP
Istri Almarhum Irzen Okta bersama dengan tim pengacaranya di PN Selatan. Foto: SGP

Satu dari lima terdakwa kasus pembunuhan nasabah Citibank Irzen Octa, Boy Tambunan mempersoalkan surat dakwaan penuntut umum yang dia nilai tidak lengkap. Pasalnya, surat dakwaan tidak memaparkan secara gamblang unsur ‘merampas kemerdekaan seseorang’. Demikian intisari nota keberatan Boy dalam persidangan lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (31/10).

 

“Yang ada hanyalah perbuatan sumir berupa terdakwa III Donal Harris Bakara menyuruh duduk Irzen Octa yang merupakan saran biasa saja,” ujar koordintaor tim penasihat hukum terdakwa, M Lutfie Hakim.

 

Di depan majelis hakim yang diketuai Subyantoro, Lutfie mengatakan dalam surat dakwaan, unsur ‘penganiayaan sampai mati’ tidak dijelaskan secara jelas bagaimana rangkaian perbuatannya. Sebaliknya, penuntut umum hanya menjelaskan adanya adu mulut, mengetuk meja, dan menendang kursi.

 

“Tapi tidak ada uraian dakwaan tentang misalnya pemukulan pada kepala, muka, leher, tengkuk atau dada atau perut atau bagian anggota tubuh vital lainnya yang ditandai dengan adanya memar atau darah yang berceceran. Setidaknya-tidaknya menodai dahi atau gorden,” ujarnya.

 

Pada bagian lain, eksepsi mempersoalkan hasil otopsi ulang dalam surat dakwaan. Menurut M Sholeh Amin, anggota tim penasihat hukum, hasil otopsi ulang yang dilakukan Mun’im Idris itu ilegal. Otopsi ulang, kata Sholeh, semestinya dilakukan atas permintaan penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP, bukan atas permintaan penasihat hukum keluarga Irzen Octa, OC Kaligis.

 

Dipaparkan Sholeh, rentang waktu kematian Irzen dengan pelaksanaan otopsi ulang berjarak 20 hari. Artinya, kondisi mayat sudah tidak utuh. Makanya, Sholeh berpendapat otopsi ulang itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia. “Dengan kata lain bukan pro yustisia,” dia menegaskan.

 

Posisi Mun’im Idris pun dipersoalkan. Dalam kasus ini, kata Sholeh, Mun’im tidak dalam  kapasitas sebagai dokter spesialis forensik sebagaimana permintaan penyidik untuk melakukan otopsi. Tetapi, Mun’im dipandang sebagai dokter biasa yang diminta pendapatnya oleh OC Kaligis.

Tags: