Berharap pada OJK
Kolom

Berharap pada OJK

UU OJK memberi keleluasaan bagi lembaga OJK untuk bertindak, termasuk dalam hal penegakan hukum.

Bacaan 2 Menit
Berharap pada OJK
Hukumonline

Setelah lebih dari 12 tahun dibahas, akhirnya DPR mengesahkan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pembentukan OJK merupakan amanat Pasal 34 UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal itu berintikan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen paling lambat 31 Desember 2002.

Namun, dalam perjalanannya, pembahasan OJK cukup alot, sehingga isi Pasal 34 harus direvisi melalui UU No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 1999. Revisi itu memuat ketentuan bahwa pembentukan OJK paling lambat 31 Desember 2010. Lagi-lagi, pemerintah dan DPR “ingkar” terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (2) tersebut, sebab target pembentukan OJK yang ditentukan oleh undang-undang tidak tercapai tepat pada waktunya.

 

Pengesahan UU OJK tentu membawa nuansa baru dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan termasuk perbankan nasional. Sebab, UU OJK memangkas kewenangan pengawasan bank yang selama ini dijalankan oleh Bank Indonesia. Tugas pengaturan dan pengawasan bank akan beralih dari Bank Indonesia kepada OJK mulai 31 Desember 2013.

Begitu juga dengan lembaga jasa keuangan lainnya yang selama ini di bawah pengaturan dan pengawasan Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang akan beralih ke OJK pada tanggal yang sama. Ketentuan inilah yang membuat alot pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK antara pemerintah dan DPR, disamping ketentuan mengenai susunan Dewan Komisioner OJK.

 

Nampaknya, ada ketidaksetujuan dari internal BI apabila tugas pengawasan perbankan dialihkan kepada OJK. Masih lekat di ingatan, pada Desember 2010 tahun lalu, Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) secara tegas menolak  RUU OJK. IPEBI menyatakan mayoritas pegawai BI menyatakan penolakannya untuk bergabung dengan OJK. IPEBI mengungkapkan dari 473 responden pegawai BI, 76,98 persen menyatakan menolak bergabung dengan OJK dan 14,54 persen bersedia bertugas di lembaga pengawasan sektor jasa keuangan. Sisanya, 9,88 persen memilih untuk pensiun dini (“Tolak OJK, ratusan pegawai BI kenakan pita hitam”, Kontan,  Senin 06/12/2010)

Kemudian, pada saat rapat kerja Panitia Khusus (Pansus) OJK DPR dengan Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM tentang pandangan mini fraksi dan pengesahan draf akhir RUU OJK, Selasa malam (25/10/2011) di ruang rapat Komisi IX DPR, tidak ada satupun pejabat BI yang hadir. Memang, tidak ada keharusan bagi pihak BI untuk datang, namun sebagai lembaga yang memiliki kepentingan di dalam UU OJK, selayaknya BI ikut serta dalam forum tersebut.

 

Seharusnya BI berkaca diri sebelum melakukan “protes”. Kinerja BI khususnya dalam pengawasan perbankan selama ini tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini tercermin dari maraknya kasus-kasus perbankan yang menyita perhatian publik. Sebut saja mega skandal kasus Bank Century (sekarang Bank Mutiara). Jika saja BI melakukan pengawasan ketat sejak bank hasil merger tersebut lahir, tidak akan terjadi penggelontoran dana besar-besaran kepada Bank Century.

Tags: