Politik Hukum Pidana Nasional Masih Ortodoks
Utama

Politik Hukum Pidana Nasional Masih Ortodoks

DPR keluhkan banyaknya materi Undang-Undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
DPR keluhkan banyaknya materi Undang-Undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Foto: SGP
DPR keluhkan banyaknya materi Undang-Undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Foto: SGP

Melihat materi muatan perundang-undangan saat ini, politik hukum pidana nasional dinilai masih lebih mengedepankan kepentingan elit politik ketimbang nasib rakyat. Tak sedikit materi muatan dibuat sedemikian rupa dengan tujuan mempertahankan status quo.

 

Politik hukum sering dipakai untuk melihat bagaimana lembaga-lembaga negara mengekspresikan keinginan dalam bentuk perundang-undangan. Satjipto Rahardjo, pendukung aliran hukum progressif, mengartikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Prof Soedarto (alm) mengatakan politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pendekatan ilmiah dengan menggunakan politik hukum antara lain pernah dipakai oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD, dan Ketua Komisi III DPR Benny K Harman.

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Aswanto, berpendapat politik hukum pidana nasional masuk kategori ortodoks. Dengan menggunakan pandangan Philippe Nonet dan Philip Selznic, penulis buku Law and Society in Transition: toward Responsive Law, Prof Aswanto mengatakan pengaturan pidana dalam banyak peraturan perundang-undangan tidak sinkron, malah saling bertentangan. Itu bisa terjadi karena hukum pidana masih bersifat ortodoks. “Hukum semata-mata dijadikan sebagai instrumentalia oleh penguasa,” ujarnya.

 

Politik hukum pidana menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, Selasa dan Rabu (15-16/11) lalu. Prof Aswanto berbicara dalam seminar yang dihadiri puluhan akademisi Indonesia.

 

Politik hukum ortodoks lazimnya dipakai sebagai lawan dari politik hukum responsif. Untuk  model yang terakhir ini, hukum lebih digunakan sebagai legitimasi keinginan masyarakat. Pada politik hukum pidana yang ortodoks, kata Aswanto, hukum pidana yang dilahirkan adalah hukum pidana yang cenderung melindungi kepentingan elit politik. “Kepentingan elit politik yang lebih dikedepankan,” tegas Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar itu.

 

Walhasil, aspek kesejahteraan rakyat dalam peraturan perundang-undangan nasional kurang diperhatikan. “Aspek kesejahteraan sosialnya sangat kering,” tambah Prof. Aswanto.

 

Pandangan serupa disampaikan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Ketika berbicara mengenai Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Fakultas Hukum UI Depok, Siti Fadilah mempertanyakan kurangnya kepedulian pembentuk Undang-Undang terhadap nasib rakyat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: