‘Obral’ Pasal Pidana Perlu Dihentikan
Berita

‘Obral’ Pasal Pidana Perlu Dihentikan

Jalan keluarnya, tuntaskan pembahasan RUU KUH Pidana.

Oleh:
Mys/IHW
Bacaan 2 Menit
‘Obral’ Pasal Pidana Perlu Dihentikan
Hukumonline

Nyaris setiap undang-undang yang dihasilkan DPR dan Pemerintah selalu memuat pasal ancaman pidana. Jumlahnya bervariasi, dan model perumusan norma pidananya pun berbeda. Ancaman pidana-nya bisa berupa penjara, denda, ganti rugi, atau dikembalikan kepada orang tua. Apapun jenis pidananya, pencantuman pasal pidana terus menerus dalam hampir setiap undang-undang cukup mengkhawatirkan.

 

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, meminta agar legislator menghentikan obral pasal pidana. Hanya negara otoriter dan represif yang cenderung selalu mengkriminalisasi segala macam perbuatan warganya. Semakin banyak pasal ancaman pidana terkesan negara semakin represif. Mudzakkir mengusulkan moratorium pencantuman pasal pemidanaan. “Jangan terlalu gampang membuat rumusan pidana di luar KUHP,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Mudzakkir mengaku pernah mengusulkan moratorium itu ke Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dua tahun lalu. Tetapi hingga kini, pencantuman pasal pidana terus terjadi. Buktinya, tak kurang dari 95 pasal pidana tercantum Undang-Undang yang dihasilkan DPR dan Pemerintah tahun lalu.

 

Perumusan pasal pidana dalam suatu undang-undang, kata Zulkarnain, adalah hal yang lumrah. Dosen Universitas Widyagama Malang ini berpendapat tak semua perbuatan termaktub dalam KUHP, sehingga perlu diatur dalam undang-undang khusus. Tetapi ia juga tak menampik dampak ‘obral’ pidana dalam peraturan. Minimal, terjadi tumpang tindih rumusan. Sistem pemidanaan bisa menjadi kacau.

 

Mudzakkir melihat dampak lebih jauh. Di satu sisi, negara –yang diwaliki legislator—terus merumuskan dan memuat ancaman pidana baru. Namun di sisi lain, tak dipertimbangkan apakah negara mampu menanggung konsekuensi dari mudahnya memidanakan seseorang. Misalnya, apakah negara punya lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan yang memadai. Faktanya, sekarang saja negara kesulitan menyediakan tempat tahanan yang mencukupi dan memadai.

 

Kalau negara tak siap menanggung konsekuensi dari sistem obral pidana, Mudzakkir khawatir hukum pidana tidak akan efektif untuk melindungi masyarakat. “Malah, bisa jadi hukum pidana akan diabaikan,” ujarnya.

 

Mudzakkir juga pernah melakukan kajian atas 90-an undang-undang. Hasilnya, banyak ketentuan pidana dari satu undang-undang yang diduplikasi ke dalam undang-undang lain. Yang tak kalah penting, ada banyak ketentuan yang tidak konsisten dalam sistem pemidanaan. Ada pula yang sudah jelas diatur KUHP, dibuatkan lagi dalam undang-undang khusus. Ada pasal yang di KUHP saja jarang dipakai, malah dibuat aturan khusus. Misalnya pasal pidana mengenai penggunaan bendera.

Tags: