Kasus Kecil Diharapkan Tidak Sampai Pengadilan
Berita

Kasus Kecil Diharapkan Tidak Sampai Pengadilan

Perlu pemahaman yang sama dari semua aparat penegak hukum.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung Basrief Arief katakan kasus kecil diharapkan tidak sampai ke Pengadilan. Foto: SGP
Jaksa Agung Basrief Arief katakan kasus kecil diharapkan tidak sampai ke Pengadilan. Foto: SGP

Kasus pencurian sandal, pisang, kakao, dan piring mengundang keprihatinan banyak pihak. Bagaimana tidak, acap kali penegak hukum terlihat “garang” ketika menangani kasus seperti ini, ketimbang menangani kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat, perusahaan, atau aparat pemerintahan.

Padahal, secara ekonomis, kerugian yang diderita akibat tindak pidana tersebut tidak terlalu signifikan dibanding dengan tindak pidana lain, seperti korupsi. Bahkan, kasus-kasus kecil seperti ini, seharusnya dapat diupayakan perdamaian, sehingga tidak sampai ke pengadilan.

Pendapat seperti itu tidak hanya datang dari masyarakat umum. Jaksa Agung Basrief Arief juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, kasus-kasus wong cilik seperti ini memang mengundang keprihatinan masyarakat, termasuk aparat penegak hukum.

“Untuk itu, ke depan, hal-hal begitu tidak perlu ke pengadilan. Ini harus ada pengertian dari semua lini aparat penegak hukum. Baik dari penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim,” katanya, Jumat (3/2).

Kejaksaan diindikasikan akan menolak perkara-perkara kecil seperti ini. “Saya kira demikian,” ujar Basrief ketika ditanya tentang respon Kejaksaan. Mantan Wakil Jaksa Agung ini mengatakan, terakhir dirinya mendapat laporan dari Jawa Tengah (Cilacap) mengenai kasus pencurian pisang yang dikaji ulang dan kemudian dihentikan.

Nah, Basrief merasa dirinya harus meluruskan pemikiran yang ada di masyarakat. Selama ini, jika kasus sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan, masyarakat menganggap kasus itu harus ke pengadilan. Padahal, kalau melihat Pasal 31 dan 39 KUHAP, jaksa meneliti kembali layak atau tidaknya perkara itu dilimpahkan ke pengadilan.

Hal inilah yang terjadi di Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilacap, Jawa Tengah. Ketika menerima pelimpahan tahap dua dari Polres Cilacap, Kejari Cilacap kembali mengkaji dan akhirnya menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap dua tersangka pencurian pisang yang ternyata menderita keterbelakangan mental.

Sayang, Jaksa Agung tidak ‘membakukan’ pernyataannya dalam sebuah Surat Edaran atau semacamnya. Meski demikian, Jaksa Agung seringkali mengingatkan aparatnya agar tidak mengabaikan hati nurani dalam menangani perkara-perkara seperti ini. Dan itu dituangkan Basrief dalam perintah hariannya kepada seluruh jajaran Kejaksaan dalam Hari Bhakti Adhyaksa ke-51.

“Imbangkan wujud kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat dengan mengedepankan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang penegakan hukum karena institusi Kejaksaan merupakan tumpuan para pencari keadilan,” paparnya beberapa waktu lalu.

Sementara, Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen, berpendapat rasa keadilan yang berkembang di masyarakat sekarang ini membuat aparat penegak hukum menjadi sangat dilematis. Tengok saja, dalam kasus nenek Rasminah, pencurian sendal jepit oleh seorang pelajar, banyak pihak yang merasa seharusnya kasus tersebut jangan sampai ke pengadilan. Padahal, penuntut umum menganggap unsur-unsur tindak pidana telah terpenuhi.

Untuk menjawab kondisi yang seperti itu, Halius menyarankan Jaksa Agung perlu memberi petunjuk kepada seluruh jajarannya agar ketika menangani kasus-kasus seperti ini, Jaksa perlu mendengar dan mencermati secara kasuistis.

“Untuk (kemudian) menentukan langkah-langkah hukum dengan tidak mengenyampingkan aturan yang berlaku,” tuturnya.


Acara pemeriksaan cepat dan singkat

Saran serupa juga datang dari Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto. Menurutnya, Jaksa Agung perlu membuat kebijakan untuk mempertegas penanganan kasus-kasus seperti itu.

Misalnya, Kejaksaan mempertimbangkan acara pemeriksaan singkat sesuai Pasal 203 dan acara pemeriksaan cepat sesuai Pasal 205 KUHAP. Dalam acara pemeriksaan cepat, tidak perlu jaksa yang melakukan penuntutan, tapi cukup penyidik atas kuasa penuntut umum.

Pasal 203 KUHAP

(1)    Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.

Pasal 205 KUHAP

(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini.

(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.


“Sebenarnya, untuk kasus kecil bisa dengan mekanisme acara pemeriksaan singkat atau cepat. Kebijakan Jaksa Agung diperlukan untuk mempertegas penanganan kasus yang sebenarnya bisa dengan dua mode acara pemeriksaan itu,” katanya melalui pesan singkat kepada hukumonline.|

Namun, sebelum menetapkan kebijakan tersebut, Hasril berpendapat, harus ada perubahan KUHP terkait ancaman sanksi dan perubahan KUHAP terkait dengan hukum acaranya. Sebab, tidak mungkin Jaksa Agung mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang.

Contohnya saja untuk kasus pencurian (Pasal 362 KUHP) yang seringkali diterapkan pada terdakwa kasus-kasus kecil. Tentunya, karena ancaman hukuman maksimalnya pidana penjara lima tahun atau denda sembilan ribu lima ratus, tidak masuk dalam kategori tindak pidana yang dapat menggunakan acara pemeriksaan cepat. Oleh karenanya, perlu dibuat perubahan dan penyesuaian antara ancaman hukuman tindak pidana dalam KUHP agar dapat disesuaikan dengan hukum acara dalam KUHAP.

Tags: