Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS:
Ancaman Pidana dalam Hukum Bisnis
Profil

Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS:
Ancaman Pidana dalam Hukum Bisnis

Hukum bisnis adalah hukum yang tidak menakutkan bagi calon penanam saham. Prinsip business judgment rule seharusnya dihormati.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS. Foto: SGP
Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS. Foto: SGP

Membaca puluhan tulisan dalam jurnal dan beberapa eksemplar buku cukup untuk mengenal sosok Nindyo Pramono sebagai salah seorang akademisi yang menaruh perhatian pada isu-isu hukum ekonomi, terutama hukum perusahaan.

Sebagai akademisi, gelar dan penghormatan akademik tertinggi sudah ia peroleh. Dari dunia akademis itulah Prof Nindyo Pramono melahirkan pemikiran dan karya tentang hukum bisnis. Suatu kali ia menulis tentang kedudukan hukum pemilik sertifikat saham, dan kali lain bukunya tentang sertifikasi saham perseroan terbatas yang go public diterbitkan.


Tentu saja, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini tak melulu berkutat di kampus. Ia sering diminta pendapat berkaitan dengan saham dan perseroan terbatas, bahkan BUMN. Namanya juga beberapa kali disebut sebagai ahli dalam persidangan. Semua itu menunjukkan pengakuan terhadap keilmuannya.

Beberapa waktu lalu, Prof Nindyo hadir di Jakarta, menjadi pembicara pada acara yang diselenggarakan hukumonline. Di sela-sela acara itulah ia memberikan pandangan dan pemikirannya tentang hukum bisnis. Dari perbincangan itu terbesit nada khawatir melihat tumpang tindih dan ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan. Kini, semakin banyak peraturan yang memuat ancaman pidana bukan saja terhadap orang pribadi, tetapi juga terhadap perusahaan sebagai badan hukum.

Bermula dari Undang-Undang Lingkungan Hidup, kini ancaman pidana berkembang ke hukum bisnis. Ironisnya, ancaman yang dikenakan semakin beragam padahal semula sanksinya adalah denda. Pembuatan norma ancaman pidana semakin tak terkendali lagi.

Membuat norma pidana untuk mengatur perilaku orang dan badan hukum bisa jadi bertujuan baik. Yang dikhawatirkan Prof Nindyo adalah jika tolok ukur penerapan ancaman pidana itu tidak jelas. Atau, normanya sangat umum dan elastis sehingga bisa diterjemahkan ke arah mana saja.

Ia memberi contoh tidak jelasnya tolok ukur  ‘merugikan negara’ dalam konteks tindak pidana korupsi atau bidang lain. Menurutnya, ketidakjelasan akan berdampak pada banyak orang.


Perbincangan dengan hukumonline lantas berpindah ke isu sanksi pidana terhadap korporasi. Kini, semakin banyak Undang-Undang yang memuat tanggung jawab pidana korporasi. Undang-Undang Pornografi sekalipun mengandung klausul semacam itu. Di satu sisi, pengaturan demikian membawa perubahan penting dan positif hukum pidana. Tetapi di sisi lain bisa berdampak buruk jika tidak ada tolok ukur yang jelas dan tegas. Pemilik saham atau korporasi akan berpikir dua kali menanamkan investasi jika terlalu banyak ancaman yang bisa menjerat perusahaan.

Dalam dunia bisnis dikenal asas business judgement rule. Ada perlindungan hukum kepada pimpinan perusahaan dalam mengambil kebijakan. Pimpinan perusahaan yang mengeluarkan suatu kebijakan secara sah dan dilandasi iktikad baik, kata Prof. Nindyo, seharusnya tak bisa dipidana. Ironisnya, tak sedikit aturan yang terkesan mengabaikan asas business judgement rule. Ini jugalah yang memprihatinkan penulis buku Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual (2006) itu.

Suatu keprihatinan terhadap ketidakharmonisan antar regulasi. Sebut misalnya Undang-Undang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang lain tentang Tipikor, BPK, Keuangan negara, Perbendaharaan Negara, Pasar Modal, atau BUMN. Peraturan yang masuk lingkungan hukum bisnis itu kadang saling bertentangan pada segi tertentu. “Harus ada reformasi hukum. Kaidah-kaidahnya harus diperbaiki,” ujarnya.


Ketidaksinkronan acapkali terjadi saat penggabungan rezim hukum perdata dengan rezim hukum pidana. Beberapa perbuatan yang sifatnya perdata ditarik-tarik untuk masuk ke ruang pidana. Akibatnya, muncul perbedaan persepsi ketika normanya diterapkan dalam praktik. Misalnya, ketika ada sengketa atau perkara pidana.

Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu percaya ada hubungan pencantuman ancaman pidana dalam perundang-undangan bisnis dengan keinginan berinvestasi. Jika hukum tidak pasti, investor akan lari dan mengalihkan investasinya ke negara lain. Dalam konteks pemberantasan korupsi, misalnya, makna dan lingkup ‘kerugian keuangan negara’ atau ‘merugikan perekonomian negara’ masih perlu diperjelas dengan tolok ukur tertentu. Atau, makna ‘kekayaan negara yang dipisahkan’. Frasa ini seringkali menjadi perdebatan di pengadilan. Investor, kata dia, kurang berminat. “Mereka takut dipidana jika mengalami kerugian dan dianggap merugikan kekayaan negara yang dipisahkan”.

Prof Nindyo berpendapat PT Persero awalnya memang mendapatkan dana dari APBN. Jika sudah dipisahkan maka perseroan itu menjadi Perseroan Terbatas (PT) biasa. Domainnya bukan lagi masuk kekayaan negara, melainkan sudah masuk domain Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Tags: