Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan
Fokus

Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan

Berdasarkan yurisprudensi, sebagian saja dari keterangan saksi dinyatakan palsu, cukup alasan menjeratnya dengan pasal 242 KUHP. Kuncinya, keyakinan dan ketegasan hakim.

Oleh:
mys
Bacaan 2 Menit
Demo Anggelina Sondakh di KPK. Foto: SGP
Demo Anggelina Sondakh di KPK. Foto: SGP

Seminggu sudah berlalu sejak Angelina Sondakh memberikan keterangan penting sebagai saksi perkara M Nazaruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta. Di persidangan, politisi Partai Demokrat itu membantah komunikasinya dengan Mindo Rosalina Manullang melalui Blackberry. Angie –begitu ia biasa disebut—menegaskan tak punya Blackberry pada tahun ketika komunikasi itu berlangsung.

Bantahan demi bantahan Angie di persidangan mengundang polemik. Jaksa sampai mengingatkan bahwa Angie sudah disumpah. Pengacara Nazaruddin malah terang-terangan menuding saksi berbohong. Pengacara Nazar akhirnya melaporkan Angie ke polisi dengan tuduhan berbohong alias memberikan keterangan palsu di persidangan. Tuduhan itu memang belum terbukti benar.

Di luar persidangan, polemik tak kalah hebohnya. Selama sepekan, isu tentang dugaan keterangan palsu di persidangan itu menjadi topik hangat perbincangan. Sebagian praktisi hukum menyayangkan ketidaktegasan majelis hakim, terutama mengingatkan saksi agar tidak berbohong di persidangan. Sebab, hukum Indonesia bisa menjerat saksi yang berbohong. Malah termasuk kategori tindak pidana berat karena ancaman hukumannya lebih dari lima tahun.

Feri Setiawan Samad termasuk sarjana hukum yang prihatin atas dugaan kebohongan di sidang Tipikor Jakarta.  Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (DPP ISHI) ini khawatir jika pengadilan (baca: majelis hakim) tidak tegas terhadap saksi yang patut diduga berbohong di persidangan, kasus serupa akan terus berulang.

“Ini sangat berbahaya kalau terus dibiarkan,” ujarnya. “Bisa jadi akan banyak orang yang merasa bebas memberikan keterangan palsu,” sambungnya.


Sejarah peradilan di Indonesia sejak zaman Belanda mencatat sejumlah orang yang diseret ke pengadilan atas tuduhan berbohong alias memberi keterangan palsu di persidangan. Mahkamah Agung juga beberapa kali menjatuhkan putusan atas perkara sejenis.

Dalam putusan No 782K/Pid/2004 misalnya, Mahkamah Agung mengadili perkara Djojo Sutrisno yang diduga memberi keterangan palsu tentang status kewarganegaraannya. Dalam putusan No 1251K/Pid/2009 Mahkamah Agung menjatuhkan putusan atas nama terdakwa Auw Yang Kwok Weng dalam perkara tuduhan memberi keterangan palsu tentang alamat isterinya. Dalam kedua putusan itu, Mahkamah menolak kasasi jaksa, dan terdakwa telah dinyatakan bebas oleh PN Surabaya.


Status hukum berbohong
Ajaran agama jelas melarang umatnya untuk berbohong. Tetapi dari sisi hukum positif Indonesia, berbohong pada umumnya belum dapat dikualifisir sebagai tindak pidana. Begitulah pendapat akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana. Pengecualian terhadap kualifikasi berbohong adalah di pengadilan. Menurut Gandjar, berbohong di pengadilan adalah tindak pidana.

“Itu namanya memberi kesaksian palsu di persidangan,” ujarnya saat berbicara dalam diskusi yang diselenggarakan DPP ISHI, 21 Februari lalu.


Berbohong di dalam ruang sidang bukan saja suatu tindak pidana, tetapi juga relatif berat dari sisi ancaman pidana. Pasal 242 ayat (1) KUHP mengancam hukuman tujuh tahun bagi siapapun dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik lisan maupun tertulis, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang ditunjuk untuk itu.

Ayat (2) malah lebih berat, memuat ancaman maksimal sembilan tahun siapapun yang memberikan keterangan palsu di persidangan jika keterangan palsu itu ternyata merugikan terdakwa atau tersangka. Oleh ayat (4) pasal yang sama, hakim diberi wewenang untuk menerapkan pidana tambahan berupa pencabutan hak yang diatur dalam Pasal 35 KUHP.


Ada atau tidak akibat hukum, bohong di persidangan tetap bisa dikriminalisasi. Jika berakibat merugikan pada terdakwa, hukumannya malah diperberat. Tindak pidana memberikan keterangan palsu selesai begitu pemeriksaan saksi bersangkutan berakhir. Jika keterangan palsu sudah selesai, saksi tak bisa menariknya lagi.

Lantaran berbohong di persidangan adalah tindak pidana, advokat Ria Khoiriah berharap pengadilan bisa menerapkan Pasal 242 KUHP kepada saksi yang memberikan keterangan ‘tidak sesuai hati nurani’. Jika keterangan menyangkut pribadi saksi pun dibantah, kata pengacara Nazaruddin ini, hakim patut menduga saksi bersangkutan memberikan keterangan palsu.

Menurut Gandjar, tak perlu memastikan seluruh keterangan saksi adalah palsu. Sekalipun hanya sebagian keterangan yang bersifat palsu, cukup alasan untuk menyeret saksi bersangkutan ke kursi pesakitan. Dosen hukum pidana ini menunjuk yurisprudensi berupa putusan Hogeraad (HR) 25 Juni 1928 yang membuat norma penting:

"Suatu keterangan adalah palsu jika sebagian dari keterangan itu adalah tidak benar, kecuali jika ini sedemikian rupa sehingga dapat diperkirakan bahwa hal itu tidak disengaja dalam memberikan keterangan palsu."

Putusan senada diulangi Hoge Raad sepuluh tahun kemudian (putusan HR tanggal 4 April 1938), yang menyebut, sekalipun sebagian keterangan saksi tidak palsu, hakim dapat memandang keterangan itu sebagai suatu kesatuan dan menyatakan keterangan itu palsu tanpa sebagian dibebaskan.


Hoge Raad dalam arrest 27 Juni 1932 –seperti dikutip dalam memori jaksa dalam putusan MA No. 2534 K/Pid/2007 – menyebutkan kesengajaan memberikan keterangan palsu adalah kesadaran bahwa keterangan yang diberikan itu sebenarnya palsu atau bertentangan. Di dalam peradilan, kesadaran tersebut harus dinyatakan telah terbukti.

Ketegasan hakim dan hukum acara
Berbohong tidaknya seorang saksi dalam persidangan sepenuhnya ditentukan hakim. Gandjar Laksmana berpendapat hakim berwenang menilai setiap keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan. Hakim pula yang pada akhirnya mengeluarkan penetapan apakah saksi yang berbohong diproses atau tidak.

Penegasan serupa disampaikan Asep Iwan Iriawan. Mantan hakim yang kini beralih profesi menjadi akademisi ini mengatakan seluruh pembuktian dilakukan untuk meyakinkan hakim apakah perbuatan terdakwa terbukti. Keterangan saksi salah satu alat bukti. Maka, ‘hakim punya hak untuk menilai keterangan saksi’. Menurut Asep, keyakinan dan ketegasan hakim diperlukan. “Dibutuhkan ketegasan hakim,” ujarnya.

Secara teknis, Asep melanjutkan, begitu yakin saksi berbohong, hakim menskor sidang untuk berunding dengan anggota majelis. Jika majelis sepakat, hakim tinggal mengeluarkan penetapan. Tidak perlu ada pengaduan terlebih dahulu sebelum hakim menetapkan menahan saksi yang berbohong. Cuma, hakim jangan lupa untuk memperingatkan saksi bahwa memberikan keterangan palsu di bawah sumpah adalah tindak pidana dan bisa diproses hukum.

Gandjar Laksamana juga berpendapat bahwa bahwa palsu tidaknya keterangan saksi harus dibuktikan secepatnya. “Tak perlu ada pengaduan, tak perlu ada proses penyidikan di kepolisian,” jelasnya.

Mekanisme memproses saksi yang memberikan keterangan palsu sudah disinggung dalam Pasal 174 KUHAP. Jika hakim menduga atau meyakini saksi berbohong, sang hakim mengingatkan ancaman pidana keterangan palsu pasal 242 KUHAP.

Jika saksi bersangkutan tetap pada keterangannya ketua majelis dapat memerintahkan saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan dakwaan sumpah palsu. Selain hakim, jaksa atau terdakwa dapat meminta agar saksi ditahan karena keterangan palsu.


Secara teknis, panitera langsung membuat berita acara pemeriksaan dengan memuat alaan persangkaan. Berita acara dari panitera itulah yang dipakai jaksa untuk menyusun dakwaan terhadap saksi pemberi keterangan palsu. Jika perlu perkara pokok ditangguhkan dulu untuk membuktikan tuduhan berbohong.

Cuma, dalam praktik, menetapkan seorang saksi berbohong tidak segampang membalik telapak tangan. Ukuran keterangan yang benar yang dijadikan majelis sebagai perbandingan masih menjadi pertanyaan. Apalagi jika majelis belum punya keyakinan penuh atas keterangan saksi-saksi pembanding dan alat bukti lain. Putusan-putusan Mahkamah Agung (termasuk putusan No. 2534 K/Pid/2007 dan putusan No. 1315K/Pid/2007) menguatkan putusan bebas terdakwa pemberi keterangan palsu menunjukkan indikasi kesulitan itu.

Apalagi jika hakim tak langsung menetapkan apakah saksi berbohong atau tidak pada hari sidang berlangsung. Pengaduan ke polisi setelah sidang berlangsung mungkin ada gunanya, tetapi tuduhan berbohong di ruang sidang bisa kehilangan makna. Kuncinya memang ada di tangan hakim.

Karena itu, ‘nasihat’ seorang jaksa terhadap saksi di sidang Tipikor Jakarta patut direnungkan. “Saya hanya mengingatkan, sebagai calon ilmuan, yang bersangkutan boleh salah, tapi tidak boleh bohong, karena (berbohong) di persidangan ada ancaman pidananya”. 

Tags:

Berita Terkait