Fit and Proper Test
Tajuk

Fit and Proper Test

Mutu seorang doktor dari UI atau UGM mungkin bagus, tetapi tidak akan berguna bagi jabatan publik yang akan diisi kalau keahliannya tidak relevan dengan tugas-tugasnya nanti atau pegangan ilmunya tidak pernah dipraktikkan di lapangan.

Oleh:
ats
Bacaan 2 Menit
Fit and Proper Test
Hukumonline

Semangat berpraktik demokratis, kesetaraan, dan cara kerja berdasarkan sistem merit  sejak awal reformasi, membawa kita pada keadaan sekarang ini, dimana untuk posisi-posisi penting jabatan publik kita ditarik ke pusaran ‘asyik masyuk’ melakukan proses “fit and proper test” (FPT) secara berlapis.

Dimulai dengan pembentukan panitia seleksi (pansel), yang juga sudah mengundang masalah, karena dilakukan dengan penunjukan langsung oleh pemerintah yang menyertakan berbagai unsur birokrasi, profesional dan wakil masyarakat yang belum tentu punya kualitas lebih baik dari yang dipilih; kemudian pansel melakukan saringan administrasi, cek latar belakang, tes kejiwaan, sampai mewajibkan pembuatan makalah, dan kemudian mengundang reaksi masyarakat luas yang mengetahui baik-buruk, cacat-keunggulan kandidat, dan akhirnya wawancara dengan calon kandidat yang terbuka untuk umum.

Belum cukup, kandidat yang terseleksi, biasanya dua kali lebih besar dari jumlah jabatan publik yang akan diisi, disampaikan kepada Presiden. Karena pansel dibentuk oleh pemerintah, demi kredibilitas sendiri, hampir pasti nama-nama kandidat tersebut dikirim Presiden ke DPR untuk seleksi akhir. Di sini, atas nama rakyat, politik bermain, kepentingan-kepentingan bermunculan, dan mereka yang terpilih adalah mereka yang lulus, walaupun bukan yang dianggap terbaik dalam proses yang cukup ketat oleh pansel, tetapi juga secara politik bisa diterima oleh mayoritas anggota komisi di DPR yang terkait atau dianggap bisa menjadi kepanjangan tangan mereka di lembaga atau komisi negara terkait.

Sering terjadi, yang akhirnya terpilih tidak selalu yang menduduki ranking tertinggi yang diberikan oleh pansel, dan yang dianggap oleh pansel sebagai mereka yang punya semua kualitas yang dibutuhkan untuk memimpin suatu lembaga atau komisi negara bidang terkait. Kenyataan ini banyak menimbulkan persoalan rumit dalam internal organisasi dan budaya kerja yang sudah atau akan dibangun, dan mempengaruhi secara negatif kinerja lembaga atau komisi terkait.

Dari prosesnya sendiri, kita sudah melihat banyak kelemahan dan salahnya fokus yang akan disasar. Pertama, proses pemilihan jabatan publik yang penting bukan proses melamar kerja dari orang-orang yang butuh pekerjaan, tetapi merupakan proses rekrutmen untuk menempatkan orang-orang terbaik dan tepat di posisi yang dibutuhkan. Seleksi ratusan bahkan ribuan orang untuk lima atau lebih jabatan publik suatu lembaga atau komisi negara merupakan proses melelahkan, makan biaya dan sering meleset dari target sasaran.

Orang pada umumnya, terutama yang sudah menduduki jabatan atau profesi yang baik, jadi enggan melamar karena mengetahui bahwa FPT di DPR akan melibatkan proses politik, dan seringkali jadi ladang pembantaian karakter kandidat yang tidak disukai secara politik atau bisa mengganggu sistem selama ini yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan para anggota parlemen.  Proses politik bukan barang jelek, tetapi hanya tepat dilakukan di negara yang sistem politiknya sudah matang, para pemainnya sadar konstitusi, hukum dan kepentingan terbaik publik, bangsa dan  negara. Proses politik untuk pemilihan jabatan publik dalam sistem politik yang penuh dagang sapi atau kepentingan sangat berbahaya untuk kepentingan lembaga dan komisi negara yang membutuhkan diisinya jabatan-jabatan tersebut.

Pelecehan dan perlakuan tidak pantas dalam proses politik di parlemen menjauhkan minat orang-orang terbaik sehingga seringkali kita memperoleh “the second or third best” atau yang integritasnya tidak baik. Proses rekrutmen dianggap lebih tepat, karena pihak-pihak yang “diijinkan” melamar hanya mereka yang dituju dan dianggap berpotensi untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut dengan tepat. Kedua, proses administrasi pansel juga jauh dari tingkat yang memuaskan. Sistem database untuk informasi publik kita masih jauh dari akurat, sehingga sulit untuk dipercaya. Googling memang memudahkan, membuat tim pencari fakta bagus-bagus saja, sehingga konten yang diperoleh bisa berisi informasi berharga sekaligus juga informasi sampah.

Catatan rekam jejak dalam sistem informasi publik kita begitu mudah dimanipulir. Misalnya, mereka yang melamar dengan gelar sederet: doktor, profesor, magister, sarjana dengan berbagai fokus kajian tidak bisa diverifikasi keabsahannya, atau kalaupun sah, tidak mencerminkan mutu yang disyaratkan. Mutu seorang doktor dari UI atau UGM mungkin bagus, tetapi tidak akan berguna bagi jabatan publik yang akan diisi kalau keahliannya tidak relevan dengan tugas-tugasnya nanti atau pegangan ilmunya tidak pernah dipraktikkan di lapangan. Kalaupun ada relevansinya, belum tentu para kandidat dengan gelar sederet dan menghasilkan riset dan tulisan akademik yang jempolan layak memimpin suatu lembaga dan komisi negara yang penuh dengan dinamika, gejolak, dan intrik politik, utamanya disaat terjadinya krisis nasional.  

Kita belum bicara tentang mereka dengan gelar sederet yang diperoleh dari universitas ruko di dalam negeri, atau dari universitas yang gurem di luar negeri. Pada akhirnya gelar menjadi tidak penting, rekam jejak lebih penting, terutama kemampuan para kandidat dalam memimpin suatu organisasi yang punya akuntabilitas publik yang tinggi. Lebih penting lagi, mereka yang pantas dipilih harus dianggap mampu membawa organisasi keluar dari krisis yang kerap melanda kita, atau membawa suatu organisasi ke suatu tingkat keberhasilan yang bermakna bagi kepentingan publik.

Proses seleksi administrasi pansel melibatkan tenaga-tenaga staf yang bisa saja tidak punya wawasan sebaik anggota panselnya, sehingga suatu masalah administrasi kecil bisa menggugurkan kandidat berpotensi bagus. Pansel sendiri tentu tidak bisa menangani proses seleksi sendiri apalagi manakala jumlah kandidat masih ratusan.   Susunan pansel, dimana ada sejumlah birokrat yang merupakan kader partai politik belum tentu bisa independen dan bebas dari kepentingan politik partainya. Yang cukup menggelikan adalah persyaratan agar kandidat melakukan psikotes dan membuat makalah. Ini memang jadinya persis seperti orang melamar pekerjaan.

Mungkin jalan pikiran pansel lebih kepada bagaimana secara fair dan terbuka bisa menyeleksi begitu banyak pelamar dengan berbagai latar belakang yang tidak jelas. Tetapi jadinya memang salah kaprah. Mungkin ada sejumlah kandidat potensial yang begitu kesalnya diperlakukan demikian sehingga mereka tidak “belajar” menghadapi psikotes. Kegagalan akan tinggi karena mereka yang sudah malang melintang dengan rekam jejak yang panjang juga merasa diperlakukan seperti anak kecil.

Pembuatan makalah sama saja, kalau harus dilakukan di tempat, tidak semua “leaders” biasa membuat makalah lagi, sehingga mereka jadi tergagap dalam merumuskan ide-ide mereka secara tertulis, terstruktur baik dan dalam waktu singkat. Kalau bisa dibuat di luar tempat tes, maka tidak ada jaminan originalitas pemikiran yang dituangkan dalam makalah yang dihasilkan. Yang seram juga adalah adanya proses pengaduan masyarakat yang seringkali berisi fitnah dan pengungkapan masalah yang terlalu pribadi yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan, kinerja dan kepemimpinan kandidat.

Melihat begitu banyaknya persoalan yang bisa timbul dari proses seleksi, perlu dipikirkan bagaimana pola penempatan jabatan publik terbaik yang bisa diterapkan untuk lembaga dan komisi negara. Yang dianggap ideal tentunya adalah pola rekrutmen tersebut. Misalnya untuk jabatan pimpinan KPK. Pansel tidak sulit untuk memetakan apa dan siapa di Republik ini yang punya kualitas baik, jejak rekam yang meyakinkan, integritas yang tinggi dan kepemimpinan yang bisa membawa keberhasilan organisasi untuk menuntaskan tugas-tugas anti korupsi.

Memilih birokrat, polisi dan jaksa atau pengacara yang dikenal tidak bersih sama saja dengan menempatkan para pembela korupsi di dalam organisasi pemberantasan korupsi. Di KPK diperlukan pimpinan yang bertugas melakukan perubahan besar dalam sistem pencegahan korupsi termasuk membangun sistem keuangan negara dan pengelolaan dana publik dengan akuntabilitas tinggi. Di KPK dibutuhkan juga pimpinan yang bertugas melakukan penindakan kasus-kasus korupsi, terutama yang merupakan pola korupsi yang sistemik dan menarik perhatian masyarakat secara efektif.

Di situ dibutuhkan penyelidik, penyidik dan penuntut tanpa cela dari segi profesi dan integritas. KPK juga membutuhkan seorang ketua yang mampu menjadi dirijen yang baik di dalam memimpin orkestra pengelolaan organisasi, pencapaian target organisasi, hubungan dengan stakeholders, pengelolaan isu-isu politik, dan komunikasi publik secara efektif. Kombinasi lima orang komisioner KPK yang  memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, ditambah penyelidik, penyidik, penuntut dan peralatan tekonologi yang canggih, akan menjadikan KPK yang independen dan kuat dengan
deliverables yang tinggi.

Dalam proses rekrutmen, misalnya untuk KPK, pansel dapat memetakan siapa 20 orang terbaik yang memenuhi semua atau hampir semua parameter yang dibutuhkan untuk memimpin KPK. Pemahaman mengenai akar dan modus korupsi, seluk beluk keuangan negara, hukum dan kebijakan anti korupsi yang efektif; kemampuan menunjukkan wibawa akademis yang kuat, dan kepemimpinan dan juga komunikasi publik yang efektif, serta sikap independen dan tanpa kompromi merupakan syarat minimal yang harus dipenuhi. Demikian juga kemampuan untuk memahami posisi dan peran  KPK dalam menciptakan Indonesia yang bersih, serta kemampuannya menjadikan KPK sebagai pilar utama dalam penegakan hukum yang efektif, sangat penting dalam proses pemilihan pimpinan KPK. Dari proses tersebut pansel bisa menjadikan 10 orang terbaik untuk dikirimkan ke presiden.

Pansel dianggap berhasil bilamana siapapun yang diajukan ke presiden dan diajukan oleh presiden ke parlemen tetap menghasilkan lima orang pimpinan KPK yang membentuk tim yang solid, kuat dan efektif. Setiap anggota pansel yang diangkat karenanya harus dianggap punya kemampuan yang lebih untuk mampu membawa proses pemilihan tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan tadi. Data dan informasi publik, serta hasil penyelidikan terbatas atas para kandidat tersebut karenanya lebih mudah karena mereka memang sudah disasar atau dituju. Kerja pansel menjadi ringan sehingga bisa difokuskan pada proses cepat untuk memilih orang-orang yang tepat dan sama hebatnya. Ini bisa dilakukan di semua pemilihan, apakah itu Hakim Agung, anggota Komisi Judisial, anggota OJK, gubernur dan deputi gubernur BI dan jabatan-jabatan publik yang penting lainnya.

ats – Maret 2012

Tags: