KY Kaji Putusan Pengetatan Remisi
Utama

KY Kaji Putusan Pengetatan Remisi

MA sesalkan sikap masyarakat yang menyalahkan putusan PTUN.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Komisi Yudisial (KY) Kaji Putusan Pengetatan Remisi Terhadap Narapidana. Foto: SGP
Komisi Yudisial (KY) Kaji Putusan Pengetatan Remisi Terhadap Narapidana. Foto: SGP

Koalisi masyarakat sipil akhirnya melaporkan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan SK Menkumham tentang Pengetatan Remisi terhadap Narapidana Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi, ke Komisi Yudisial (KY). Majelis hakim yang terdiri dari Bambang Heryanto, Tedi Romyadi dan Husban dinilai melanggar kode etik dan perilaku hakim.

Koalisi ini terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat yakni Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Indonesian Legal Rountable (ILR), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat UGM), Tranparency International Indonesia, dan Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas.

“Ada 13 persoalan mendasar dalam putusan PTUN bernomor 217/G/2011/PTUN-JKT yang mencabut 7 SK Menkumham atas Pembebasan Bersyarat tujuh narapidana korupsi yang diduga melanggar SKB Kode Etik dan Perilaku Hakim terutama poin 8 (Berdisiplin Tinggi),” kata Refki Saputra dari ILR saat diterima Komisioner KY Suparman Marzuki di Gedung KY Jakarta, Rabu (14/3).

Refki membeberkan belasan persoalan mendasar yang diabaikan majelis hakim PTUN. Pertama, hakim tidak berwenang memeriksa perkara ini karena bukan objek TUN karena tidak bersifat individual dan final, objek sengketa berlaku umum (sekitar 50 narapidana korupsi) tidak hanya menyebut tujuh orang. “Dalam diktum ketiga objek sengketa disebutkan SK ini masih dapat diperbaiki jika terdapat kekeliruan, ini menunjukkan objek sengketa belum final,” dalihnya.

Kedua, hakim tidak cermat dan tidak mampu mengklarifikasi perbedaan mendasar dari para penggugat. Refki mengatakan penggugat pertama hingga ketiga, Ahmad Hafiz Zamawi (PB 30 Oktober), Bobby Satrio Hardiwibowo S (PB 4 November), Mulyono Subroto (PB 11 Desember) telah menjalani pembebasan bersyarat (PB) sebelum tanggal 16 November 2011. 

Sementara penggugat keempat hingga ketujuh, Hesti Andi Tjahyanto (PB 16 Desember), Agus Wijayanto Legowo (PB 16 Desember), Ibrahim (9 Januari 2012), dan Hengky Baramuli (PB 21 November) mendapat PB sebelum 16 November 2011 atau PB belum jatuh tempo untuk dilaksanakan.

Ketiga, hakim tidak memahami objek sengketa karena salah dalam menerapkan Pasal 24 dan 25 Permenkumham M.01.PK.04-10 Tahun 2007 yang dijadikan dasar hakim membatalkan objek sengketa TUN. Sebab, Pasal 24 dan 25 Permenkumham bisa digunakan jika PB sudah dilaksanakan,” katanya.

Keempat, hakim salah menilai fakta hukum ketika objek sengketa tertanggal 16 November 2011 ternyata sudah berlaku surut sejak 31 Oktober 2011, sehingga melanggar azas retroaktif. Sebab, SK Menkumham tertanggal 16 November tidak bisa dikatakan semua SK berlaku surut.  SK tiga orang narapidana seharusnya tidak berlaku karena sudah dibebaskan.

Refki juga mengkritik pemahaman hakim yang menyamakan HAM yang diatur dalam UUD 1945 dan UU HAM dan hak narapidana yang merupakan pemberian dari negara sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan terkait SK Pencabutan PB ini. “Pemohon dan hakim salah memahami soal ini,” katanya.

Selain itu, hakim tidak mempertimbangkan aturan dan aspek yang menyangkut pemberantasan korupsi, mengesampingkan keterangan ahli. Dia juga mengatakan bahwa hakim seharusnya menerbitkan putusan sela dan menyatakan tidak menerima sebagian gugatan penggugat.

Sementara, Jamil Mubarok dari MTI menambahkan bahwa majelis hakim PTUN ini melakukan pelanggaran hukum acara karena kasus ini seharusnya menempuh upaya banding administratif atau upaya keberatan kepada atasan pejabat TUN yang menerbitkan sesuai Pasal 48 ayat (2) UU PTUN. “Secara administratif ini seharusnya diselesaikan dulu ke atasan Menkumham, yaitu presiden, jika tidak berhasil baru dibawa ke ranah peradilan.

Menanggapi laporan Koalisi, Suparman Marzuki mengatakan pihaknya akan mengkaji laporan pengaduan ini. Jika ada indikasi pelanggaran pihaknya juga akan meminta keterangan dari para pihak, termasuk hakim. ”Sementara laporan ini kami terima dan akan ditelaah terlebih dahulu,” jelas Suparman.

Terpisah, Ketua Mahkamah Agung M Hatta Ali menyesalkan sikap masyarakat yang menyalahkan putusan PTUN terkait pembatalan SK Menkumham tentang pengetatan remisi. 

“Gimana negara ini akan baik kalau masyarakatnya sendiri tidak percaya pada pengadilan atau hakimnya. Apanya yang salah dengan putusan itu? Kalau setiap putusan dianggap salah buat apa ada pengadilan,” kata Hatta Ali usai melantik ketua pengadilan tinggi dan TUN di Gedung MA. ”Kalau Menkumham mau banding ya silakan, itu haknya. Pengadilan nggak boleh menolak perkara yang masuk”.

Tags: