Kinerja Legislasi Rendah Karena DPR Malas Berpikir
Utama

Kinerja Legislasi Rendah Karena DPR Malas Berpikir

Berbeda ketika DPR menjalankan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Kinerja legislasi DPR payah karena anggotanya malas berpikir. Foto: Sgp
Kinerja legislasi DPR payah karena anggotanya malas berpikir. Foto: Sgp

Pencapaian kinerja legislasi DPR untuk tahun 2011 masih rendah. Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), kinerja legislasi DPR pada 2011 tak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada 2011, DPR –dan pemerintah- hanya menghasilkan 24 undang-undang dari target 93 (26 persen). Sedangkan pada 2010, menghasilkan 16 undang-undang dari target 70 (23 persen).

Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi memaparkan pada prinsipnya kuantitas pencapaian suatu undang-undang merupakan hal yang penting, tetapi tak kalah pentingnya adalah kualitas undang-undang itu. “Penting sekali kita tak berhenti di kuantitas, tetapi lebih tajam ke kualitas undang-undang yang dihasilkan itu,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Indonesia Jentera School of Law, Jakarta, Kamis (15/3).  

Fajri menjelaskan untuk menilai kualitas suatu undang-undang bukan hanya dengan melihat seberapa sering undang-undang itu diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, lebih jauh dari itu. “Tetapi juga bagaimana undang-undang itu bisa dijalankan atau tidak,” ujarnya.

Ia mengatakan seringnya suatu undang-undang diuji ke MK hanya sebagai salah satu ukuran bahwa undang-undang tak berkualitas. “Misalnya, UU MK adalah undang-undang yang dihasilkan pada 2011 yang paling sering diajukan judicial review ke MK,” jelasnya. Ia berkesimpulan bukan hanya kuantitas, kualitas legislasi DPR saat ini juga masih rendah.

Anggota DPR dari PDIP Ganjar Pranowo mengatakan rendahnya kualitas undang-undang yang dibuat oleh dewan merupakan konsekuensi dari sistem pemilihan umum (pemilu) yang berlaku di Indonesia. Ia mengatakan dalam pemilu tentu tak bisa menghasilkan para ahli hukum untuk duduk di gedung dewan, semuanya tergantung pilihan dari rakyat. “Problem politiknya bahwa anggota-anggota DPR itu sekarang sudah dipilih dan terpilih dalam pemilu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ganjar menjelaskan bahwa dari tiga fungsi yang dimiliki DPR –fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan-, fungsi legislasi dianggap lebih berat. “Legislasi itu kan harus mikir (berpikir). Problemnya, yang terpilih itu siapa? Umpamanya dia kursus dulu sebelum menjadi anggota dewan, mungkin dia akan kenal teori yuridis, filosofis dan sosiologis dalam membuat undang-undang, tetapi ini kan tidak,” tegasnya.

“Mereka itu kan representasi yang dipilih oleh rakyat. Kalau Anda berkeinginan yang tinggi-tinggi, kayaknya nggak masuk deh,” ujarnya mengomentari mayoritas anggota dewan yang tak memiliki latar belakang dan keilmuan legislasi yang cukup.

Selain itu, Ganjar menuturkan pekerjaan legislasi bukan pekerjaan yang mudah. Salah satu yang sulit dilakukan adalah mencari konsensus atau kesepakatan bersama antar fraksi dan anggota yang memiliki isi kepala berbeda. “Periode lalu, saya ada di Badan Legislasi DPR. Ilmunya sedikit-sedikit saya punya. Tapi, untuk mencapai konsensus itu sulit sekali. Tolong kasih tahu saya ilmunya. Saya cari-cari bukunya dimana-mana tidak ada,” jelasnya.  

“Fungsi pengawasan itu lebih bebas. Itu ruang yang paling enak. Makanya bobotnya lebih banyak dibanding fungsi legislasi. Fungsi legislasi itu tak berjalan karena harus mikir. Anggota Dewan itu malas untuk berpikir. Kalau fungsi anggaran itu hanya soal kira-kira kok. Coba cek bagaimana penyusunan APBN dibuat,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR ini menjelaskan bahwa untuk membuat suatu undang-undang atau menjalankan fungsi legislasi para anggota DPR harus berpikir keras. Dari sejak awal apakah latar belakang filosofisnya, teori hingga bagaimana ini bisa diimplementasikan ke masyarakat. “Itu perlu kerja keras,” ujarnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Andalas Saldi Isra mengatakan kualitas sebuah undang-undang memang penting, tetapi jangan melupakan aspek kuantitas atau jumlah yang telah dihasilkan DPR. Ia mengatakan bahwa kuantitas undang-undang yang masih jauh dari target tetap menjadi masalah yang harus diselesaikan. “Bagaimana kita diskusikan kualitas tetapi kuantitasnya tak tercapai,” ujarnya.

Saldi berpendapat diskusi mengenai kualitas undang-undang lebih pas dilakukan setelah kuantitas undang-undang yang dihasilkan sudah sesuai dengan harapan. “Kalau undang-undang yang dihasilkan sudah mencapai atau bahkan melebihi target, baru kita bicarakan bagaimana memperbaiki kualitas undang-undang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Saldi berpendapat belum tercapainya target legislasi tak melulu dibebankan kepada DPR. Ia mengingatkan berdasarkan UUD 1945, lembaga yang berwenang membuat undang-undang adalah DPR dan Pemerintah. “Jadi, pemerintah juga punya peran dengan tak tercapainya target legislasi ini,” tuturnya.

Kepala Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Kemenkumham Agus Haryadi justru menilai tak tercapainya target prolegnas dikarenakan target yang dicanangkan terlalu muluk. Ia berharap ke depan, perlu ada perumusan target yang realistis sehingga tersebut bisa diselesaikan dengan baik oleh DPR dan pemerintah. 

Tags: