Subsidi BBM Tidak Membebani APBN
Utama

Subsidi BBM Tidak Membebani APBN

APBN justru dibebani dengan pembayaran utang luar negeri dan belanja pegawai yang rawan dikorupsi.

Oleh:
fitri novia heriani
Bacaan 2 Menit
Subsidi BBM Tidak membebani APBN. Foto: SGP
Subsidi BBM Tidak membebani APBN. Foto: SGP

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi mengumumkan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) per April 2012. Pemerintah berdalih, kebijakan ini didasari atas naiknya harga minyak dunia serta untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selama ini banyak digunakan untuk subsidi BBM.

Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM), Masinton Pasaribu, mengatakan rencana pemerintah mengurangi, bahkan menghapus subsidi dengan cara menaikkan harga BBM telah melanggar Pasal 7 ayat (6) UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Menurutnya, alasan penghematan yang digunakan pemerintah saat ini, terlalu berlebihan.

“Mahalnya harga BBM bersumber dari kekeliruan dalam kebijakan politik APBN serta carut marutnya pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (19/3).

Sikap pemerintah yang menjadikan subsidi BBM sebagai beban dalam APBN sangat disayangkan. Padahal, subsidi merupakan sebuah kewajiban bagi negara yang telah diatur dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Ironisnya, realisasi belanja APBN 2012 justru lebih besar dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri dan belanja pegawai.

Masinton mengatakan, meningkatnya jumlah utang luar negeri tidak diimbangi dengan kesejahteraan rakyat. Hal itu bisa dilihat dari kebijakan pemerintah, yang mana setiap tahun subsidi masyarakat di berbagai sektor dikurangi. Akibatnya, petani kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga murah, rakyat miskin ditolak berobat ke rumah sakit dan nelayan tidak melaut.

“Sesungguhnya yang membebani APBN adalah pembayaran utang dan bunga utang luar negeri, serta pemborosan anggaran belanja pegawai yang rawan akan korupsi,” cetusnya.

Berdasarkan data Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Indonesia memiliki laju pengurasan minyak yang lebih tinggi dibanding negara penghasil minyak lainnya seperti Arab Saudi. Masinton berpendapat, hal ini bisa mempercepat habisnya cadangan minyak Indonesia.

Dia juga menyayangkan pengurasan minyak di Indonesia banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing. Sedangkan PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas terbesar di dalam negeri, belum bisa menjadi motor produksi minyak nasional.

Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), Kurtubi, mengatakan diperlukan cara untuk menyehatkan APBN tanpa harus menaikkan harga BBM. Menurutnya, cara yang layak untuk dilakukan adalah melakukan penghitungan ulang besaran subsidi BBM dengan mengacu kepada patokan biaya pokok BBM dan melakukan percepatan program konversi ke Bahan Bakar Gas (BBG). Selain itu, pembangunan infrastruktur gas perlu dipercepat.

Kurtubi tak memungkiri dampak kenaikan harga BBM akan membebani masyarakat dan berimbas ke berbagai sektor. Harga barang kebutuhan pokok yang melonjak naik akan menurunkan daya beli masyarakat. Di samping itu, jumlah orang miskin sudah pasti bertambah, disusul ketersediaan lapangan kerja yang semakin minim.

Menurut Kurtubi, pihak yang nantinya diuntungkan dengan kenaikan harga BBM adalah pengusaha pompa bensin atau retail BBM non-subsidi. Soalnya, sebagian besar pemakai BBM bersubsidi akan pindah ke BBM non-subsidi, mengingat selisih harga menjadi kecil. Selain itu, kemampuan APBN akan meningkat, di mana proyek-proyek di kementerian atau lembaga non-departemem akan memperoleh sumber pembiayaan.

“Kalau dana BLT/BLSM digelontorkan, yang diuntungkan selain penduduk miskin yang mendapatkan bantuan tunai, juga partai pemerintah yang akan diuntungkan dalam pemilu yang akan datang,” ujarnya di acara yang sama.

Langkah Konkrit
Pemerintah harus melakukan upaya yang konkrit untuk menyehatkan APBN, jika menaikkan harga BBM menjadi opsi terakhir. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menormalkan harga jual gas yang diekspor, melakukan efisiensi mekanisme impor minyak, dan efisiensi pengelolaan cost recovery.

Tidak hanya itu, pemerintah dituntut untuk melakukan restrukturisasi pengelolaan industri migas nasional dengan mencabut UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta berusaha agar sasaran produksi atau lifting minyak dalam APBN 2012 dapat dicapai.

Kurtubi berharap pemerintah tidak plin plan dalam memutuskan kebijakan BBM. “Jika harga BBM dipastikan naik sebagai kebijakan negara, maka naikkan secepat mungkin. Jika pemerintah lamban, maka akan menimbulkan pro kontra yang semakin besar dari masyarakat,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, meminta agar pemerintah segera mereview kebijakan energi dan transportasi. Apalagi, intrumen BLT atau BLSM yang disiapkan sebagai therapy shock kenaikan harga BBM dinilai tidak cukup efektif untuk mnyelamatkan kelompok rentan. Pasalnya, proses pendataan masih lemah sehingga bisa menimbulkan potensi konflik sosial, yang mana masyarakat akan tetap miskin dan akan menghasilkan mentalitas peminta-minta.

“Dalam banyak aspek, kenaikan harga BBM ini merupakan keniscayaan serta efek domino akibat kenaikan harga BBM sangat komplek,” jelas Tulus.

Tags: