Petikan Putusan Bisa Dijadikan Dasar Eksekusi
Utama

Petikan Putusan Bisa Dijadikan Dasar Eksekusi

MA berjanji akan mempercepat proses minutasi putusan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
MA tegaskan petikan putusan pengadilan bisa dijadikan dasar eksekusi. Foto: Sgp
MA tegaskan petikan putusan pengadilan bisa dijadikan dasar eksekusi. Foto: Sgp

Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa petikan putusan pengadilan sudah bisa dijadikan dasar mengeksekusi terpidana. Setelah hakim memutus perkara lazimnya dilakukan proses minutasi. Selama proses minutasi, kepada para pihak diberikan petikan putusan. Petikan putusan berisi amar yang diputuskan majelis.

Berbekal petikan putusan pun sebenarnya jaksa sudah bisa mengeksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. “Petikan putusan sudah bisa dijadikan dasar eksekusi,” kata Sekretaris MA Nurhadi usai melantik 20 pejabat eselon tiga di lingkungan MA di gedung MA, Senin (26/3).

Nurhadi menjelaskan persoalan eksekusi perkara pidana merupakan kewenangan lembaga Kejaksaan. “Kami tegaskan eksekusi perkara pidana, eksekutornya kejaksaan jika perkara telah diputus pidana. Jadi tolong ditanyakan kepada pihak kejaksaan, apa yang menjadi kesulitan pihak Kejaksaan untuk eksekusi perkara pidana terutama eksekusi perkara-perkara korupsi?” kata Nurhadi.

Ia berdalih jika salinan putusan atau petikan putusan (pemidanaan) sudah dikirimkan kepada para pihak (terdakwa dan kejaksaan), itu bukan kewenangan pengadilan lagi, melainkan kewenangan Kejaksaan. “Petikan putusan pemidanaan sudah bisa jadi dasar eksekusi. Sebab, di dalamnya ada amar/diktum putusan, tetapi pertimbangan hukumnya belum dimuat,” tegas Nurhadi.

Jika suatu perkara sudah diputus dan salinan putusannya dalam proses minutasi, kata dia,  petikan putusan segera dikirim ke para pihak. “Biasanya, setelah perkara diputus paling lambat besok lusanya petikan putusan sudah dikirim ke para pihak. Dalih pengacara yang keberatan dengan eksekusi karena belum terima salinan putusan, sesuatu yang wajar, memang alasannya selalu seperti itu,” jelasnya.

Menurutnya, sesuai Surat Edaran MA dalam penanganan perkara di MA diselesaikan dalam jangka waktu sejak perkara diterima. “Saat perkara masuk dan dinyatakan selesai jangka waktunya satu tahun, jangka waktu satu tahun itu termasuk proses minutasi, tetapi nanti bisa dicek SEMA-nya,” katanya. “Yang pasti kita terus berusaha untuk mempercepat proses minutasi putusan.”

Memang, mengacu SEMA No 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA No 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan Putusan dan Petikan Putusan. Angka 3-nya menyebutkan petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan.

Namun, angka 2 SEMA ini menyebutkan untuk perkara pidana pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan kepada terdakwa/penasihat hukumnya, penuntut umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan menurut sesuai ketentuan KUHAP. Hal ini termuat juga dalam Tiga Paket UU Bidang Peradilan, seperti Pasal 52A ayat (2) UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.

Lambannya, eksekusi putusan pemidanaan memang kerap menimbulkan persoalan lantaran belum dikirimkan salinan putusan secara lengkap khususnya dalam perkara-perkara korupsi. Setidaknya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada sekitar 48 terpidana korupsi belum dieksekusi Kejaksaan. Diantaranya, Gubernur Bengkulu non aktif Agusrin M Najamuddin, Bupati Subang non aktif Eep Hidayat, Bupati Lampung Timur Satono. Ketiganya, divonis bebas di tingkat pertama, tetapi di tingkat kasasi divonis bersalah.

Meski Kejaksaan telah menerima petikan putusan dari MA, seharusnya Kejaksaan selaku eksekutor dapat langsung menjalankan putusan. Jaksa Agung Basrief Arief mengaku dilema karena ada sejumlah kasus yang terpidananya tidak mau dieksekusi hanya dengan petikan putusan terutama menyangkut terpidana perkara-perkara besar.

“Kalau dengan petikan putusan, ini kan berdasarkan SEMA. Nah, sepanjang terpidananya bersedia untuk dilaksanakan dan sudah mau menerima, itu tidak masalah. Itu biasanya terjadi di perkara-perkara tindak pidana umum. Kalau perkara besar (korupsi) ada kalanya si terpidana meminta salinan putusan. Ini tidak salah juga karena undang-undang mengatur itu (Pasal 270 KUHAP),” katanya beberapa waktu lalu.

Untuk terpidana yang mau dieksekusi dengan petikan putusan, Kejaksaan tinggal meminta teken dari terpidana dan lembaga pemasyarakatan tempat terpidana akan menjalani masa hukuman. Terkait eksekusi  Agusrin dan Eep sendiri, Jaksa Agung mengaku eksekusi masih dalam proses. Pada tanggal 16 Maret 2012, Jaksa Agung sudah menginstruksikan ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu dan Jawa Barat agar segera meminta salinan putusan ke MA.

Tags:

Berita Terkait