Hasil Penelitian: Hapus Empat Alat Kelengkapan DPR
Utama

Hasil Penelitian: Hapus Empat Alat Kelengkapan DPR

Ada enam faktor yang mempengaruhi kinerja legislasi DPR terus menerus. Apa saja?

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi The Habibie Center membahas kinerja legislasi DPR. Foto: Mys
Acara diskusi The Habibie Center membahas kinerja legislasi DPR. Foto: Mys

Tim peneliti The Habibie Center merekomendasikan agar alat kelengkapan DPR dikurangi agar kinerja legislasi dapat ditingkatkan. Empat alat kelengkapan DPR yang layak dihapuskan adalah Badan Anggaran, Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP), Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

Penghapusan empat alat kelengkapan DPR merupakan satu dari enam rekomendasi sementara tim peneliti The Habibie Center mengenai ‘Peningkatan Fungsi Legislasi DPR: Rekomendasi Terhadap Rencana Kerja untuk Mengurangi Penumpukan Rancangan Undang-Undang’. Hasil penelitian itu disampaikan ke publik di Jakarta, Rabu (28/3).

Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, bertujuan merumuskan rekomendasi terhadap fungsi legislasi DPR. Selama sepuluh tahun terakhir, tidak pernah DPR menghasilkan undang-undang sesuai target program legislasi nasional. Salah satu yang menyebabkan buruknya kinerja legislasi adalah tidak efektifnya alat kelengkapan dan komisi DPR. Banyaknya alat kelengkapan dan komisi membuat kinerja anggota DPR terhalang. Selain unsur pimpinan dan panitia khusus, ada 11 komisi, tujuh badan dan alat kelengkapan lain.

Baworo Kumoro, peneliti The Habibie Center, mengatakan keempat alat kelengkapan tadi mempunyai tugas yang beririsan dengan tugas-tugas komisi. Badan Anggaran (Banggar) misalnya. “Tugas Badan Anggaran sesungguhnya hanya meneruskan apa yang sudah diputuskan oleh komisi. Tugas Banggar hanya mengharmonisasi keputusan komisi dengan komisi lainnya,” jelas Baworo.

Tugas harmonisasi dan sinkronisasi untuk diambil menjadi kebijakan sebaiknya diputuskan oleh pimpinan DPR, tidak lagi di Banggar. Sehingga tanggung jawab tertinggi dalam membuat kebijakan ada di tangan pimpinan DPR. Apalagi, citra Banggar saat ini juga terpuruk karena dugaan permainan anggaran yang dilakukan anggota DPR.

Ada juga alat kelengkapan yang tugasnya beririsan dengan tugas Komisi. Tugas-tugas BKSAP, misalnya, bisa diambil alih Komisi I yang memang membidangi hubungan luar negeri. BAKN adalah alat kelengkapan yang tugasnya melakukan telaah atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan ke DPR. Tim peneliti berpendapat tugas ini sebaiknya diserahkan kepada ahli. Hasil telaah para ahli inilah yang disajikan ke komisi untuk dijadikan bahan keputusan. Jika tetap dilakukan anggota Dewan, ada kekhawatiran terjadi konflik kepentingan terhadap temuan BPK.

Prof Iberamsyah justru mengusulkan agar fraksi-fraksi yang ada di DPR ditiadakan. Guru Besar FISIP Universitas Indonesia ini berpendapat begitu seseorang memasuki gerbang DPR maka ia seharusnya menanggalkan ‘baju’ politik. Dia mewakili rakyat Indonesia, sehingga fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik tidak relevan lagi. “Kan mereka sudah bernama wakil rakyat, bukan wakil parpol lagi,” tandas Iberamsyah.

Enam faktor
Berdasarkan hasil penelitian The Habibie Center, termasuk mewawancarai sejumlah anggota DPR, setidaknya ada enam faktor yang mempengaruhi kinerja legislasi, atau menimbulkan penumpukan RUU setiap tahun. Salah satu faktor adalah alat kelengkapan Dewan yang terlalu banyak sehingga waktu anggota DPT tersita ke banyak lembaga.

Faktor lain adalah proses perencanaan yang cenderung tidak realistis. Dalam setiap prolegnas, DPR mengajukan usul puluhan RUU. Tahun 2011 misalnya, DPR menargetkan 70 RUU. Ditambah 23 RUU luncuran tahun sebelumnya, maka RUU yang harus diselesaikan menjadi 93. Faktanya, yang selesai hanya 24 RUU (25 %).

Faktor berikutnya adalah anggota Badan Legislasi tidak dapat memberikan cukup waktu bagi pekerjaan legislasi karena mereka juga harus menjalankan tugas-tugas parlementer di komisi masing-masing. Akibatnya, proses pembahasan RUU sering tertunda.

Tiga faktor lain adalah kurang optimalnya dukungan tenaga ahli; kebiasaan anggota DPR datang terlambat atau absen dari rapat; dan lemahnya akses masyarakat terhadap perkembangan proses pembahasan RUU. Partisipasi masyarakat terhambat sehingga terpaksa dilakukan uji publik ke berbagai daerah. Uji publik semakin bermanfaat jika sejak awal masyarakat punya akses terhadap draf RUU dan perkembangan pembahasannya.

Menurut Bawono, hasil penelitian dan rekomendasi tim peneliti The Habibie Center ini akan disampaikan ke DPR sebagai masukan. Ia memperkirakan hasil penelitian baru disampaikan tiga pekan ke depan setelah tim merampungkan dan melakukan editing akhir. Ia berharap agar hasil penelitian ini diperhatikan dan ditindaklanjuti DPR.

Tags:

Berita Terkait