Pemerintah Harus Segera Buat PP Anak Luar Kawin
Berita

Pemerintah Harus Segera Buat PP Anak Luar Kawin

PP Anak Luar Kawin adalah amanat UU Perkawinan ‘yang terlupakan’ lebih dari 38 tahun.

Oleh:
Ali/IHW
Bacaan 2 Menit
Diskusi tentang Anak Luar Kawin yang diselenggarakan SS Co Advocates. Foto: Sgp
Diskusi tentang Anak Luar Kawin yang diselenggarakan SS Co Advocates. Foto: Sgp

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menimbulkan pro kontra di masyarakat. Dalam putusan, MK menegaskan bahwa anak luar kawin mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya (dan ibunya). Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan menilai putusan ini menabrak hukum Islam dan mengkritik MK sudah seperti Tuhan.

Dosen Hukum Islam Fakuktas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Neng Djubaedah mengatakan kekisruhan terhadap perlakuan untuk anak luar kawin ini sebenarnya tak akan terjadi bila pemerintah melaksanakan amanat UU Perkawinan. Yakni, dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang diperintahkan oleh undang-undang itu.

Neng menjelaskan pasal yang ‘diubah’ oleh MK adalah Pasal 43 ayat (1) yang awalnya berbunyi ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’.

Lalu, Pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan ini merumuskan ‘Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah’.    

“Saya hitung sudah 38 tahun 1 bulan 15 hari sejak undang-undang itu disahkan pada 1974, PP yang mengatur anak luar kawin itu belum juga dibuat oleh pemerintah,” jelas Neng dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (29/3).

Neng berharap pemerintah segera membuat PP untuk mengatur anak luar kawin itu sesuai perintah UU Perkawinan. Ini dilakukan untuk memperbaiki kekisruhan mengenai status anak luar kawin akibat putusan MK. “PP ini harus merespon keresahan masyarakat dan mengacu kepada fatwa MUI,” ujarnya.

Terpisah, Hakim Konstitusi Akil Mochtar juga menyatakan hal yang sama. Menurut dia putusan MK tentang anak luar kawin ini seharusnya ditindaklanjuti oleh pemerintah. Apalagi hal itu sudah diamanatkan dalam UU Perkawinan. Akil berharap PP yang dibuat itu nanti akan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hukum dan hak keperdataan bagi anak luar kawin.

Dosen Hukum Waris Islam Universitas Diponegoro Mulyadi mengatakan putusan MK ini memang telah merusak tatanan hukum waris. Yakni, dengan menyamakan kedudukan antara anak luar kawin dengan anak yang sah hasil perkawinan. Ini tentu akan berkaitan dengan waris.

“Putusan ini jelas sangat merugikan perempuan baik-baik. Perlindungan kan tak harus untuk istri siri dan anak luar kawin, istri dan anak yang sah juga harus dilindungi,” tegasnya.


Mulyadi berharap PP yang akan dibuat pemerintah kelak memperjelas ‘hubungan keperdataan’ yanng dimaksud oleh MK. Ia mengatakan pemerintah bisa saja mempertegas bahwa waris tak termasuk ke dalam maksud dari ‘hubungan keperdataan’ itu. “Ini harus dilakukan oleh pemerintah, baik melalui PP atau revisi UU Perkawinan,” jelasnya.

Hakim Agung Renghena Purba menilai bila pemerintah ingin membuat PP berdasarkan perintah Pasal 43 ayat (2) itu maka mau tak mau pemerintah harus tetap mengacu ke Putusan MK. Pasalnya, isi pasal 43 ayat (1) telah ‘diubah’ oleh MK. “Ya, harus sesuai dengan putusan MK dong,” ujarnya.

Hukum Acara
Selain pemerintah harus membuat PP, hukum acara atau tata cara persidangan untuk anak luar kawin yang meminta pengakuan ayah biologisnya juga perlu dipikirkan. Renghena berkesimpulan bahwa MA perlu membahas hukum acara ini dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Ini untuk mengimplementasikan putusan MK tersebut.

Renghena mengatakan MK –dalam putusannya- mengatakan anak luar kawin bisa meminta pengakuan ayah biologisnya melalui tes DNA. Lalu, bagaimana dengan proses persidangannya? Ia berpendapat setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan oleh anak tersebut (dan ibunya).

Pertama, si anak mengajukan permohonan penetapan pengadilan untuk memeriksa atau melakukan tes DNA. Setelah ini dilakukan maka si anak bisa mengajukan gugatan perdata terhadap si ayah ke pengadilan. Gugatan ini untuk meminta hak-hak perdata si anak ke ayah biologis atau keluarga ayahnya.

Kedua, si anak bisa langsung mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Lalu, pengadilan dimohonkan dalam putusan sela untuk memerintahkan Lab-krim untuk mengadakan tes DNA. Selanjutnya, masuk ke pokok perkara untuk pengukuhan anak tersebut yang mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya serta apakah dia berhak mendapat hak pemeliharaan, waris dan sebagainya.

“Ini yang perlu diatur ke dalam Perma. Supaya hukum acaranya menjadi lebih jelas,” pungkasnya. 



Ralat:

Terjadi kesalahan penulisan nama narasumber di paragraf 11, 12, 13. Tertulis Renghena Purba, seharusnya Rehngena Purba.

Demikian ralat ini disampaikan.

@Redaksi

Tags: