Penerimaan Pajak Migas dan Pertambangan Tak Optimal
Utama

Penerimaan Pajak Migas dan Pertambangan Tak Optimal

Dirjen Pajak berdalih setengah dari 5800 perusahaan migas dan pertambangan belum melakukan produksi.

Oleh:
fitri novia heriani/m agus yozami
Bacaan 2 Menit
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany (kiri). Foto: Sgp
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany (kiri). Foto: Sgp

Direktur Jenderal Dirjen Pajak Fuad Rahmany membantah kurang optimalnya penerimaan pajak di sektor migas dan pertambangan disebabkan banyaknya tunggakan pajak dari berbagai perusahaan. Menurutnya, setengah dari 5800 perusahaan yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), belum memulai kegiatan produksi sehingga belum membayar pajak.

“Saat ini terdapat 5800 perusahaan tambang yang terdaftar di DJP, sebagiannya diperkirakan belum membayar pajak karena belum memulai kegiatan produksi,” katanya, Senin (2/4), di Jakarta. 

Fuad mengklaim sejauh ini pembayaran pajak sektor migas masih berjalan tertib dengan bantuan BPH Migas. Namun, ia mengaku kesulitan ketika harus mengawasi perusahaan-perusahaan tambang. Pasalnya, izin mengenai tambang dibagi-bagi, seperti izin pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

“Ini yang membuat kita sulit untuk mendapatkan data-data pajak dari perusahaan yang sudah produksi atau belum,” tuturnya.

Oleh sebab itu, DJP mencoba melakukan optimalisasi penerimaan pajak di sektor migas dan pertambangan dengan membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus bagi kedua sektor itu. Hal ini untuk mengkonsolidasi dan memonitor data informasi perusahaan tambang dan migas.

Fuad menjamin terbentuknya KPP khusus migas dan pertambangan ini akan memuaskan pelayanan wajib pajak. Melalui pembentukan KPP ini, ia yakin pelayanan dan pengawasan terhadap wajib pajak bisa lebih optimal. “Wajib pajak akan merasa terpuaskan karena aspek pelayanan menjadi seragam,” katanya.

Dia menambahkan, dengan penyatuan KPP ini koordinasi bisa berjalan dengan baik. Jika KPP sudah menjadi satu, katanya, maka pihak DJP akan berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemda, provinsi serta pemerintah kabupaten/kota. Dengan adanya konsentrasi dan koordinasi maka akan mempermudah komunikasi dengan pihak luar.

Seperti diketahui, KPP khusus migas dan pertambangan dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 29/PMK.01/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 62/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.

Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 80 PMK No 29/PMK.01/2012, maka pembagian sektor WP yang diadministrasikan pada Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Wajib Pajak Besar meliputi KPP Wajib Pajak Besar Satu mengadministrasikan Wajib Pajak Besar dari sektor pertambangan, jasa penunjang pertambangan dan jasa keuangan. KPP Wajib Pajak Besar Dua mengadministrasikan Wajib Pajak Besar deari sektor industri, perdagangan dan jasa.

KPP Wajib Pajak Besar Tiga mengadministrasikan WP dari Perusahaan Negara/badan Usaha MIlik Negara (BUMN) sektor industri dn perdagangan, serta KPP Wajib Pajak Besar Empat mengadministrsikan WP dari Perusahaan Negara/BUMN sektor jasa dan WP orang pribadi.

Sementara itu, pembagian sektor WP yang diaministrasikan pada Kanwil DJP Jakrarta khusus adalah KPP Penanaman Modal Asing (PMA) satu sampai enam, KPP Badan dan Orang Asing dan KPP Perusahaan Masuk Bursa, serta KPP Migas yang mengadministrasikan sebanyak 1.261 WP sektor migas.

Namun, Kordinator Investigasi dan Advokasi Forum Independen untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengaku pesimis terbentuknya KPP khusus migas dan pertambangan mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor itu. “Semuanya percuma dibentuk jika tidak ada pengawasan langsung dari masyarakat,” katanya kepada hukumonline.

Uchok menambahkan, dibentuknya KPP khusus migas dan pertambangan bukanlah sesuatu yang positif. Sebaliknya, keberadaan KPP khusus akan menjadi awal di mana terjadinya ‘negosiasi’ antara penagih dengan wajib pajak.

Tags:

Berita Terkait