Komnas HAM Butuh Penguatan Kewenangan
Berita

Komnas HAM Butuh Penguatan Kewenangan

Rekomendasi Komnas HAM seringkali tak dihiraukan.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Demo salah satu korban HAM tahun 1965 di kantor Komnas HAM. Foto: ilst (Sgp)
Demo salah satu korban HAM tahun 1965 di kantor Komnas HAM. Foto: ilst (Sgp)

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hesti Armiwulan menilai masih banyak kelemahan dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kelemahan itu mengakibatkan kewenangan Komnas HAM menjadi terbatas. Akibatnya Komnas HAM seolah tak bernyali dalam menegakkan HAM.

“UU HAM sudah jelas memiliki berbagai kelemahan sehingga Komnas HAM sering disebut macan ompong. Karena kendala undang-undang itulah Komnas HAM tidak bisa bergerak lebih pro aktif lagi,” kata Hesti dalam konsultasi publik terkait RUU Komnas HAM di kantor Komnas HAM Jakarta, Rabu (4/4).

Sejumlah persoalan yang terdapat dalam UU HAM menurut Hesti yaitu tentang posisi hukum, pemanggilan paksa serta imunitas anggota dan staf Komnas HAM. Mengacu Pasal 1 ayat (7) UU HAM, Komnas HAM disebut sebagai lembaga mandiri yang kedudukanya setingkat dengan lembaga negara lain. Tapi keberadaan Komnas HAM tidak didasarkan pada UUD 1945. Akibatnya bila terjadi sengketa kewenangan dengan lembaga lainnya seperti Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kejaksaan Agung dan DPR maka tidak dapat diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi.

Posisi hukum itu juga terkait dengan pemanggilan terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM atau pihak lain yang dimintai keterangannya oleh Komnas HAM. Menurut Hesti, karena UU HAM tidak mengatur secara jelas dan tegas tentang pemanggilan itu sehingga tidak memiliki kekuatan memaksa untuk menghadirkan yang bersangkutan.

Lebih lanjut, berdasarkan UU HAM, Hesti menuturkan Komnas HAM dapat menerbitkan rekomendasi setelah ada proses mediasi. Di luar proses mediasi UU HAM tidak mengatur apakah Komnas HAM boleh mengeluarkan rekomendasi atau tidak. Namun dalam praktiknya rekomendasi juga diterbitkan setelah Komnas HAM melakukan tugas pemantauan. Hal itu menurut Hesti dapat menimbulkan persoalan karena pihak yang bersangkutan menolak rekomendasi itu dengan alasan tidak diatur secara tegas dalam UU HAM.

Selain itu Hesti juga menekankan bahwa Komnas HAM tidak diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas hasil temuan pelanggaran HAM di lapangan. Kewenangan Komnas HAM sekedar melakukan penelitian, pemantauan dan investigasi serta menerbitkan rekomendasi. Menurut Hesti UU HAM tidak memberi konsekuensi apapun jika pihak yang diberi rekomendasi tidak mau melaksanakan rekomendasi tersebut. Kondisi itulah yang membuat Komnas HAM tidak mampu menuntaskan persoalan HAM yang diadukan masyarakat.

“Saya rasa UU HAM tidak dapat berbicara banyak untuk memberi kewenangan kepada Komnas HAM agar lebih komprehensif dalam rangka menegakkan HAM,” tutur Hesti.

Komnas HAM, lanjut Hesti, seharusnya juga diberi kewenangan lebih untuk bertindak menuntaskan pelanggaran HAM. Mengingat aktor pelanggar HAM mayoritas dilakukan oleh aparatur negara, maka bagi Hesti satu-satunya lembaga yang dapat melakukan pemeriksaan terkait pelanggaran HAM di instansi pemerintahan adalah Komnas HAM.

Kelemahan lain, masih menurut Hesti, terkait imunitas bagi anggota dan pekerja Komnas HAM. Di tengah tuntutan pekerjaan yang berat, pekerja Komnas HAM tidak didukung oleh perlindungan yang mumpuni sehingga kerap mendapat ancaman. Selain itu, dalam menjalankan tugasnya Komnas HAM seringkali mengeluarkan pendapat, keterangan, tanggapan dan lain sebagainya. Kondisi itu dapat dianggap oleh pihak tertentu sebagai pencemaran nama baik. Beberapa persoalan imunitas itu dapat mempengaruhi independensi Komnas HAM, kata Hesti.

Oleh karena itu, Hesti berharap agar RUU Komnas HAM yang telah dirancang dan diusulkan sejak tahun 2007 itu segera disahkan DPR. Pasalnya dalam RUU Komnas HAM telah disusun ketentuan-ketentuan yang dapat memperkuat kelembagaan Komnas HAM.

Dalam kesempatan yang sama Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyebut parameter penyelenggaraan demokrasi yang baik di sebuah negara dapat dilihat dari penegakan HAM. Itu sebabnya, Jimly menyebut peran Komnas HAM sangat penting dan perlu diperkuat dengan cara diberi kewenangan lebih.

Walau pengaturannya tidak tercantum dalam konstitusi, bagi Jimly penguatan kedudukan dan kewenangan Komnas HAM dapat dihubungkan dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan itu pada intinya menyebut badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Artinya, Komnas HAM memiliki constitutional importance yang setara dengan lembaga yang disebut dalam konstitusi seperti Polri. Oleh karenanya Jimly melihat posisi Komnas HAM dalam konstitusi tergolong utama.

“Kalau dijumlahkan pasal-pasal di UUD 1945, pasal yang paling banyak mengenai HAM. Jadi kita harus mengatakan bahwa materi perlindungan HAM menjadi ‘core business’ dari konstitusi kita yang baru,” tutur Jimly ketika menjelaskan banyak instrumen HAM internasional yang diadopsi ke dalam UUD 1945 sejak amandemen kedua pada tahun 2000.

Atas dasar itu, menurut Jimly, Komnas HAM harus menjadi lembaga negara tertinggi dalam perlindungan dan penegakan HAM. Sehingga fungsi Komnas HAM dengan lembaga pemerintahan lainnya yang berkaitan dengan HAM seperti Kemenkumham dan Kemenlu dapat dibedakan secara jelas. Selain itu Jimly menekankan agar instansi atau tugas kenegaraan yang berkaitan dengan HAM dapat diintegrasikan ke dalam Komnas HAM.

Dalam penguatan kewenangan, Jimly menawarkan agar Komnas HAM diberi dua kewenangan baru. Pertama, Komnas HAM perlu diberi kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu Komnas HAM diharapkan dapat menguji peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar HAM.

Kedua, Jimly mengusulkan agar Komnas HAM perlu dilengkapi dengan kewenangan untuk melakukan penyidikan di setiap kasus pelanggaran HAM. Sekaligus membebastugaskan kepolisian dari tugas penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM karena aparat keamanan khususnya kepolisian rawan sebagai pelaku pelanggaran HAM.

Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Aziz Syamsuddin menyebut RUU Komnas HAM belum dibahas oleh DPR. Dia mengatakan bahwa UU HAM memiliki kompleksitas, sehingga mempengaruhi efektivitas Komnas HAM dalam menunaikan tugasnya. Hal itu terbukti dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak tuntas, Aziz mencontohkan kasus Semanggi I–II.

Aziz mengingatkan bahwa di bulan April ini DPR sudah masuk masa reses, sehingga peluang pembahasan RUU Komnas HAM di DPR sangat kecil. Aziz memperkirakan pembahasan RUU itu akan terhambat, pasalnya anggota DPR pasti terpengaruh oleh persiapan menuju Pemilu 2014. Dia juga memperkirakan anggota DPR sudah sibuk berkampanye pada Juli–Agustus 2013.

Dalam pemaparannya, Aziz menolak berkomentar banyak tentang substansi RUU Komnas HAM karena RUU itu belum dibahas secara resmi di DPR. Atas dasar itu, menurut Aziz, tidak etis jika dia mengutarakan pandangannya untuk saat ini. Tapi secara prinsip Aziz mendukung upaya yang dilakukan untuk membenahi Komnas HAM lewat RUU yang diajukan. “Pada prinsipnya kami mendukung,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait