Sunoto:
Hakim Muda Penggagas Mogok Sidang
Profil

Sunoto:
Hakim Muda Penggagas Mogok Sidang

Belum mempunyai rumah pribadi, bahkan kendaraan pun berasal dari pemberian orangtua.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Sunoto. Foto: Sgp
Sunoto. Foto: Sgp

Sekira tiga puluhan hakim yang berasal dari sejumlah daerah berkumpul di Jakarta. Para ‘wakil Tuhan’ ini menuntut hak-haknya yang sudah dijamin oleh undang-undang segera dipenuhi oleh pemerintah. Beberapa lembaga negara pun disambangi, yakni Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hingga ke Komisi III DPR.

Gerakan para hakim yang awalnya berasal dari situs jejaring sosial, Facebook, ini memang sempat menghangat beberapa minggu belakangan ini. Pasalnya, para hakim mengancam bila kesejahteraannya atau hak-haknya yang diberikan undang-undang tak kunjung dipenuhi maka mereka akan menggelar aksi mogok sidang. ‘Ancaman’ tersebut langsung mendapat perhatian dari para petinggi MA atau Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), pemerintah, dan anggota dewan.

Adalah Sunoto, SH, MKn– Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kualasimpang, Aceh Tamiang, Nangroe Aceh Darussalam – yang mula-mula melontarkan wacana mogok sidang ini. ‘Wacana’ ini dilontarkan ke dalam grup situs jejaring sosial tersebut dan kepada wartawan. Sunoto mengaku prihatin dengan kondisi para hakim di daerah yang ia lihat dan rasakan sendiri selama ini.

Kepada hukumonline, Sunoto menceritakan awalnya ia memulai profesi hakim. Ia memulainya pada 2004 ketika lulus menjadi CPNS untuk hakim. “Kemudian, saya diangkat menjadi hakim pada 2007. Kalau dihitung sampai sekarang, saya menjadi hakim (baru) lima tahun,” tuturnya di sela-sela audiensi para hakim dengan Komisi III DPR di Gedung DPR, Selasa (10/4).

Selama rentang waktu lima tahun itu, Sunoto mengaku telah bertugas di beberapa daerah di Indonesia. Awalnya, ia menjadi calon hakim (cakim) di Pengadilan Negeri (PN) Demak, Jawa Tengah. Kemudian, ia dimutasi ke Pengadilan Negeri Liwa, Lampung Barat, sebagai hakim. “Mutasi kedua, ya sekarang ini di PN Kualasimpang, Aceh Tamiang,” tuturnya.

Sunoto memang baru lima tahun tugas berkeliling daerah, yang tentu masih kalah dengan ‘seniornya’ yang lain. Namun, pendeknya waktu tersebut, justru membuat Sunoto membuka mata terhadap kondisi para hakim di daerah, termasuk yang ia alami selama ini.

“Rata-rata kondisi hakim di daerah yang seharusnya di atas kertas (berdasarkan undang-undang) mendapat fasilitas, tapi kenyataannya secara nyata dan riil nggaada. Masih sangat memprihatinkan, dari semua hak-hak yang seharusnya didapat, semuanya masih kurang,” ungkapnya.

Berbagai pengalaman pahit pernah ia rasakan. Salah satunya ketika bertugas di PN Liwa Lampung Barat. Rumah dinas yang seharusnya menjadi hak hakim sebagai pejabat negara tidak didapat. Alhasil, ia harus tinggal di sebuah mess. “Saya harus memperbaiki mess itu dengan biaya sendiri. Waktu itu saya tinggal bersama dengan tenaga honor lainnya satu atap. Bukan PNS, tetapi tenaga honor,” tegasnya. 

“Satu rumah ada empat keluarga. Isinya, hingga 12 orang,” ceritanya lagi.

Tak hanya mengenai rumah dinas, kesejahteraan hakim secara keseluruhan juga masih minim. Apalagi, tunjangan dan gaji hakim tak kunjung naik selama lima tahun sekali. Sunoto mengaku selama ini mengandalkan uang remunerasi yang biasanya cair tiga bulan sekali untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan keluarga. “Istilahnya, tak ada rotan, akar pun jadi,” tuturnya berpribahasa. 

Sunoto mengaku gaji, tunjangan dan remunerasi tak cukup untuk menghidupi tiga anak dan istrinya. ‘Dapur’ keluarga pak hakim ini tetap ngebul, salah satunya dibantu dengan istrinya yang juga bekerja. “Kalau istri tak bekerja, mungkin masih kurang,” ujarnya sambil tertawa ringan.

“Jujur saja, uang Rp3,5 juta itu habis untuk menghidupi tiga anak dan satu istri. Untuk beli susu dan kebutuhan rumah tangga. Itu hanya untuk pangan saja ya. Sandang dan papan belum,” ungkapnya. 

Pangan saja masih kurang, ‘boro-boro’ memikirkan hal yang lain. Sunoto mengaku sampai saat ini belum memiliki rumah pribadi untuk menaungi keluarga kecilnya. “Rumah belum punya. Kendaraan Alhamdulillah ada, motor. Itu pun dikasih orangtua. Mobil juga ada atas bantuan dari orangtua juga selain dari tabungan kami sendiri,” ungkapnya.

Ancaman Mogok
Kondisi hakim yang memprihatinkan ini yang membuat Sunoto akhirnya berani melontarkan wacana mogok sidang. Ia mengaku awalnya hanya ingin menggugah rekan-rekannya yang lain ketika melihat fakta bahwa gaji hakim lebih rendah dari PNS. “Saya berinisiatif mengajak hakim-hakim dan menuntut hak-hak hakim yang diatur undang-undang sehingga akhirnya mendapat sambutan dari seluruh hakim di Indonesia,” tegasnya.

Ajakan melalui situs jejarang sosial Facebook, dan short message service (SMS) dinilai cukup efektif. Buktinya, ada banyak dukungan dari hakim-hakim lain baik berupa dana, doa hingga pernyataan bahwa para-para hakim lain di daerah siap untuk mogok sidang bila kesejahteraan hakim tak juga diperhatikan.

Sunoto memang tak ingin buru-buru merealisasikan ancamannya itu. Apalagi, para petinggi IKAHI di MA menyarankan agar hakim tidak mogok. Ia dan rekan-rekan lain pun mencoba memlilih cara-cara elegan terlebih dahulu dengan beraudiensi dengan lembaga-lembaga negara terkait. Ini untuk meredam sementara ancaman hakim lain yang sudah bersiap mogok sidang.

“Kita audiensi dengan Komisi III DPR adalah untuk meredam bagaimana tuntutan itu terpenuhi tanpa harus membuat aksi yang bisa membuat negara malu. Tak hanya kami yang malu bila hakim mogok sidang, negara juga malu,” ujarnya.

Roadshow para hakim di Jakarta ini akhirnya sudah memperoleh sinyal positif. “Saya kira ini hal yang luar biasa, tadi pagi kita mendapat dukungan dari Prof Jimly (Asshiddiqie) seorang negarawan besar di Indonesia yang mengatakan janganlah negara ini malu karena hakimnya mogok sidang, apalagi ini sudah masuk berita di luar negeri,” tuturnya.

Akhirnya, ancaman mogok sidang dipilih sebagai upaya terakhir bila perjuangan para hakim yang coba dibangun secara elegan dengan audiensi dan judicial review ke MK benar-benar mentok.

Berdasarkan catatan hukumonline, gerakan para hakim ini bukanlah gerakan baru. Sebelumnya, para hakim yang dipelopori oleh hakim Andy Nurvita hendak menggelar demonstrasi ke Presiden dan DPR untuk memperjuangkan kesejahteraan hakim. Namun, gerakan ini seakan ‘tiarap’ begitu Andy Nurvita dipanggil oleh Badan Pengawasan (Bawas) MA pada April tahun lalu.

Sunoto membantah bila gerakan ini dianggap tenggelam. Ia menegaskan gerakan ini tak pernah berhenti, karena seminar, judicial review, dan beberapa komunikasi dan diskusi melalui situs jejaring sosial tetap dibangun. “Sebelumnya mungkin kurang melibatkan hakim, makanya sekarang ini kami semua sudah kompak dari beberapa elemen yang ada,” tegasnya.

Tugas pun telah dibagi. “Bu Andy sebagai penggagas grup di Facebook, Pak Teguh sebagai pengaju judicial review dan saya melalui teman-teman lain melakukan pengancaman dengan melakukan mogok sidang,” pungkasnya. 

Tags: