Dikecam, RUU Penanganan Konflik Sosial Tetap Disetujui
Berita

Dikecam, RUU Penanganan Konflik Sosial Tetap Disetujui

TNI bisa dilibatkan dalam konflik daerah, setelah kepala daerah meminta kepada pemerintah (presiden dan DPR).

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi konflik sosial yang masih terjadi di daerah. Foto: Sgp
Ilustrasi konflik sosial yang masih terjadi di daerah. Foto: Sgp

DPR dan Pemerintah akhirnya menyetujui RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Persetujuan diberikan setelah sempat terjadi perdebatan alot antar anggota dewan seputar keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam konflik yang terjadi di daerah.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menjelaskan setelah melalui lobi antar fraksi dan pimpinan DPR diputuskan perbaikan pada Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) RUU PKS. Hasil lobi menyepakati menghilangkan anak kalimat ‘oleh forum koordinasi pimpinan daerah’ dalam pasal tersebut. “Diputuskan anak kalimat diusulkan forum koordinasi daerah dihapus,” ujar Priyo dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Rabu (12/4).

Pasal 33 ayat (1) akhirnya berbunyi ‘Dalam status keadaan konflik skala kabupaten/kota, bupati/walikota dapat meminta bantuan pengggunaan kekuatan TNI kepada pemerintah’. Begitu juga bila terjadi status keadaan konflik di tingkat provinsi, gubernur dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada pemerintah (pusat).

Ketua Pansus RUU PKS Adang Daradjatun menuturkan keterlibatan TNI dalam menganani konflik ini berarti dikembalikan dan sejalan dengan UU TNI. Permintaan bantuan TNI kepada ‘pemerintah’ ini diartikan kepada Presiden dan DPR. UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan pelibatan TNI harus atas perintah presiden setelah mendapat persetujuan DPR.

“Penggunaan TNI sesuai UU TNI. Semuanya atas keputusan presiden dan kesepakatan DPR,” ujar Adang.

Dengan disetujuinya RUU PKS oleh pemerintah dan DPR ini, maka RUU PKS ini tinggal menghitung hari untuk disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, berdasarkan aturan UUD 1945, bila dalam waktu 30 hari RUU ini tidak ditandatangani oleh presiden, maka RUU ini akan otomatis sah dengan sendirinya menjadi undang-undang.

Meski begitu, sejumlah pihak mengecam lahirnya RUU PKS ini, terutama terkait pelibatan TNI dalam penanganan konflik di daerah. Mereka yang menyatakan penolakannya terhadap RUU PKS ini adalah, di antaranya,  Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Direktur Eksekutif Elsam Indriaswati D Saptaningrum, dalam siaran persnya, memastikan RUU PKS ini setelah disahkan menjadi undang-undang akan segera dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diajukan judicial review. Elsam pun siap menjadi pihak yang akan mengajukan permohonan judicial review tersebut.  

“Hal ini seharusnya tidak perlu, jika DPR menerapkan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, termasuk mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang menjadi subjek peraturan tersebut,” demikian bunyi siaran pers yang diterima hukumonline.

Indri menyatakan setidaknya ada tiga poin kesalahan RUU PKS ini. Pertama, RUU PKS telah mendesentralisasikan sebagian urusan keamanan yang mutlak menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. “Ini jelas berseberangan dengan Pasal 10 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,” sebutnya.

Kedua, RUU PKS ini juga dinilai tidak memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga negara sebagaimana ditegaskan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. RUU ini memunculkan ketidakjelasan status penerapan hukum dalam situasi konflik. “Muncul pertanyaan apakah dalam situasi konflik tetap diberlakukan status tertib sipil (nornal) ataukah darurat sipil? Di sini terlihat ketidakselarasan antara RUU PKS dengan UU No 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Darurat,” jelasnya.  

Ketiga, RUU ini telah memberikan peluang bagi masuknya militer dalam ruang sipil, dengan alasan penyelesaian konflik, yang dibungkus dengan operasi militer selain perang. Meskipun dalam pengerahan kekuatan dan bantuan TNI harus meminta kepada pemerintah pusat, tetap saja pengerahan TNI dalam konflik-konflik sipil telah memberikan peluang bagi militer untuk masuk kembali dari urusan-urusan sipil, termasuk diantaranya politik.

Sebelumnya, AJI Indonesia menyoroti Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 RUU ini yang memuat ketentuan pemberian wewenang sepihak kepada bupati/gubernur/presiden untuk membatasi akses keluar atau masuk wilayah konflik tanpa pengecualian bagi para pembela hak asasi manusia dan jurnalis. Karenanya, RUU PKS ini dinilai berpotensi merugikan hak-hak konstitutional warga negara, mengganggu supremasi sipil dan mengancam perlindungan HAM. 

Tags: