Keberadaan Pulau Berhala kembali diperebutkan. Kali ini lewat pengujian Undang-Undang No. 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya adalah Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, Effendi Hatta, Zumi Zola Zulkifli (Bupati Tanjung Jabung Timur), Romi Hariyanto, Meiherriansyah, Abidin, Junaidi, Kalil, Hasip Kalimuddin Syam, Sayuti dan R. Muhammad.
Mereka mengklaim Pulau Berhala masih menjadi wilayahnya, meski saat ini Pulau Berhala telah ditetapkan bagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sesuai putusan Mahkamah Agung (MA).
”Kami meminta MK membatalkan UU atau setidaknya pasal 5 ayat (1) huruf c dibatalkan. Kemudian Pulau Berhala ditetapkan masuk wilayah Jambi,” ujar kuasa hukum para pemohon, Andi M Asrun saat membacakan permohonannya di ruang sidang MK, Jumat (13/4/).
Dalam pasal 5 ayat (1) huruf c UU Pembentukan Kabupaten Lingga menyebutkan Kabupaten Lingga mempunyai batas wilayah sebelah selatan berbatasan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala.
Andi menilai pasal 5 ayat (1) huruf c itu bersifat multitafsir. Akibatnya, disalahtafsirkan bahwa Pulau Berhala masuk Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, bukan masuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.
Dikatakan Andi, Kepri seolah-olah melakukan aneksasi (pencaplokan) wilayah Pulau Berhala dari Provinsi Jambi dengan adanya UU No. 31 Tahun 2003 ini. ”Ini menciderai konstitusi. Mungkin Kepri memiliki kepentingan terhadap masalah ini, tetapi saya belum begitu jelas kepentingannya apa?” katanya.
Menurutnya, secara sosiologis pemberian nama Berhala merupakan nama orang Jambi, bukan Kepri. Secara geografis, letak pulau lebih dekat ke Jambi dibanding ke Lingga (Kepri). Palung laut pun lebih dekat ke Tanjung Jabung Timur. “Landas kontinen pun lebih dekat ke daratan Jambi”.