Hakim Mogok Terancam Sanksi Double
Utama

Hakim Mogok Terancam Sanksi Double

Penggagas rencana hakim mogok menyatakan siap menerima segala risiko.

Oleh:
Leo Wisnu Susapto/Rzk
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum IKAHI, M Hatta Ali. Foto: Sgp
Ketua Umum IKAHI, M Hatta Ali. Foto: Sgp

Ketua Umum IKAHI, M Hatta Ali menyatakan pihaknya telah menyiapkan sanksi untuk hakim yang melakukan mogok. Menurutnya, mogok bukanlah solusi tepat untuk hakim memperjuangkan hak mereka.

“Tindakan mogok malah merugikan pencari keadilan,” tegas Hatta beberapa saat sebelum menyerahkan jabatan pada Munaslub IKAHI di Jakarta, Rabu (25/4). Bahkan. Lanjutnya, tindakan itu tidak pantas dilakukan hakim dan bukan cara elegan untuk hakim berjuang demi kesejahteraan.

Dia menambahkan apabila ada hakim yang mogok, Hatta mengatakan akan ada sanksi secara organisasi dari IKAHI. “Juga ada sanksi secara formal dari Mahkamah Agung,” ungkap Hatta yang juga menjabat Ketua MA ini.

Hatta mengingatkan, keanggotaan IKAHI terdiri dari hakim aktif dan pensiunan hakim yang masih diperlukan tenaga dan pikirannya. Ditambah anggota kehormatan. “Hakim yang masih aktif tergabung dalam IKAHI,” paparnya.

Karena itu, apabila ada hakim yang ingin memperjuangkan hak mereka, maka IKAHI menurut Hatta, adalah organisasi tepat dan satu-satunya untuk tujuan itu. Lagipula, masalah kesejahteraan sudah lama diperjuangkan oleh IKAHI. Namun, memang selama ini, gaji yang diterima hakim baru 70 persen dan sudah sebelas tahun tak mengalami kenaikan.

Dia menambahkan, setidaknya tim gabungan terdiri dari MA, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Keuangan, dan Komisi Yudisial setidaknya telah bertemu dua kali dalam bulan April 2012. Kesepakatan terakhir adalah untuk mengkaji guna mencari formula tepat berapa sebenarnya kebutuhan hakim yang layak dan pantas.

“Kajian itu tidak semudah membalikkan telapak tangan dan pasti membutuhkan waktu yang cukup lama,” paparnya. Pasalnya, tak akan menyelesaikan masalah apabila ternyata kebutuhan layak dan pantas bagi hakim itu hanya bertahan selama dua tahun dan muncul masalah baru kemudian hari.

Setidaknya, lanjut Hatta, kajian itu meliputi tiga skenario. Apakah dengan menyamakan gaji semua hakim. Atau berdasarkan jenjang kepangkatan dan senioritas hakim bersangkutan. Hal lain adalah dengan membagi besaran gaji berdasarkan daerah bertugas.

Hatta menyampaikan, IKAHI dan MA juga berjuang untuk menjelaskan status hakim sebagai pejabat negara. Menurutnya, dalam banyak undang-undang, sudah dinyatakan tegas bahwa hakim adalah pejabat negara seperti UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. “Serta undang-undang tentang empat lingkungan peradilan menegaskan hakim adalah pejabat negara namun hingga sekarang itu tak diindahkan,” sahutnya.

Tapi, Hatta yakin, ketimbang memperjuangkan gaji agar penuh diterima, para hakim akan memilih berjuang untuk diakui sebagai pejabat negara. “Ketimbang gaji dipenuhi 100 persen, berjuang untuk status pejabat negara pasti lebih dipilih para hakim,” ujarnya.

Kabar tentang ‘ancaman’ sanksi yang dilontarkan Ketua Umum IKAHI langsung menjadi topik hangat di kalangan hakim. Di laman grup social media Facebook “Rencana Peserta Aksi Hakim Indonesia Menggugat Presiden dan DPR RI”, misalnya, bermunculan komentar beragam dari anggota grup tersebut. Seorang anggota berkomentar pendek “aduh seram sekali”.

Lalu, anggota lain berkomentar “Mungkin ini saatnya kita tautkan lagi komunikasi yang terputus antara orang tua dan anaknya, Hmm... mari pikirkan caranya....:)”. Untuk komentar yang terakhir ini, si pemberi komentar sepertinya menganalogikan para petinggi IKAHI dan/atau MA sebagai “orang tua”, sedangkan para hakim yang menuntut kesejahteraan adalah “anak”.

Siap menerima risiko
Dihubungi hukumonline, Rabu(25/4), salah seorang hakim penggagas rencana mogok, Sunoto menanggapi ‘dingin’ wacana pemberian sanksi yang diucapkan Ketua Umum IKAHI Hatta Ali. Sunoto menegaskan, dia dan para kolega sesama hakim sudah bertekad siap menanggung segala risiko yang kemungkinan muncul. Termasuk, pemberian sanksi dari IKAHI atau MA.

Namun begitu, Sunoto mencoba meluruskan bahwa rencana mogok adalah jalan terakhir yang akan dipilih jika perjuangan menuntut perbaikan kesejahteraan tidak digubris oleh pemerintah. Sebelum mogok, lanjutnya, para hakim sepakat akan menempuh cara-cara yang elegan seperti audiensi dengan instansi terkait ataupun judicial review di Mahkamah Konstitusi.

“Kita pilih cara-cara yang baik terlebih dahulu, jika hingga Agustus 2012 nanti, pemerintah khususnya presiden tidak menghiraukan perjuangan kami, maka terpaksa kami pilih cara terakhir, mogok,” papar hakim yang kini bertugas di daerah Kuala Simpang, Aceh itu.

Menurut Sunoto, wacana pemberian sanksi yang dilontarkan petinggi MA dan IKAHI, jangan serta merta disimpulkan bahwa MA dan IKAHI berseberangan dengan para hakim yang berjuang menuntut perbaikan kesejahteraan. Dia tegaskan, MA dan IKAHI seharusnya berada di kubu yang sama dalam kondisi seperti ini.

“Jadi, ‘musuh’ kita bukan MA atau IKAHI, yang kami tuntut adalah pemerintah. Wacana pemberian sanksi, saya anggap ibarat orang tua mengingatkan anak-anaknya agar berjuang dengan cara yang baik,” ujarnya.

Sejauh ini, kata Sunoto, sikap MA sudah tepat dengan berinisiatif membentuk tim kecil terkait perbaikan kesejahteraan hakim. Dia berharap tim kecil berhasil mewujudkan mimpi seluruh hakim di Indonesia yang berharap kesejahteraan terjamin, tanpa harus melakukan hal-hal yang buruk seperti menerima sogok.

“Pemerintah memang sudah memberi pernyataan bahwa realisasi kenaikan gaji pada tahun 2013, tetapi tentunya kita sudah bisa melihat rencana realisasinya dalam RAPBN sebelum tahun 2012 berakhir,” kata Sunoto optimis. 

Tags:

Berita Terkait