Presiden dan Kejagung Dilaporkan ke Ombudsman
Berita

Presiden dan Kejagung Dilaporkan ke Ombudsman

Penanganan atas pengaduan publik dinilai lamban.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Gedung Ombudsman. Foto: Sgp
Gedung Ombudsman. Foto: Sgp

Terhitung sudah 15 tahun peristiwa penculikan dan penghilangan 13 orang secara paksa dalam peristiwa kerusuhan sekitar tahun 1997 – 1998. Salah seorang dari mereka adalah aktivis gerakan rakyat, Wiji Thukul. Keluarga korban seolah tak kenal lelah meminta pertanggung jawaban pemerintah atas kasus ini. Sudah banyak lembaga negara yang mereka sambangi untuk meminta pertolongan, namun sampai saat ini tak menuai hasil memuaskan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan investigasi untuk mengusut kasus ini. Tindak lanjut hasil investigasi itu mandeg di Kejagung. Mencoba cara lain, para korban mengadu ke DPR, dan terbitlah rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hocpada 2009. Ironisnya rekomendasi politik itu tidak ditindaklanjuti sang Presiden. Alhasil, sampai saat ini penyelesaian kasus berlarut.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, menilai pengabaian rekomendasi itu menghambat proses hukum yang berjalan. Begitu pula dengan sikap Kejagung yang tidak mau menindaklanjuti hasil investigasi Komnas HAM. Akibatnya, muncul ketidakadilan dan ketiadaan kepastian hukum bagi korban dan keluarganya. Sebagai lembaga negara yang tugasnya melayani kepentingan publik, maka Haris menilai Presiden dan Kejagung melakukan maladministrasi. Ketentuan itu tercantum dalam pasal 1 angka (3) UU Ombudsman.

“Kenapa upaya mencari mereka yang hilang tidak segera dilakukan?” kata Haris ketika mengadu kepada anggota Ombudsman di gedung Ombudsman Jakarta, Jumat (27/4).

Selain mempertanyakan penyebab lambatnya langkah Presiden dan Kejagung dalam menuntaskan kasus ini, dia juga bertanya kenapa pihak kementerian lainnya bersikap serupa. Misalnya kenapa kementerian luar negeri tidak segera meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagaimana rekomendasi DPR. Serta kenapa kementerian sosial, kesehatan, pendidikan dan lainnya belum memberi jaminan perbaikan kondisi bagi para korban dan keluarganya.

Haris berharap agar Ombudsman dapat mencari tau hambatan-hambatan yang dihadapi sejumlah lembaga negara dalam memproses perkara ini. Kemudian dapat mendorong untuk segera bekerja menuntaskannya. Menurut Haris, bukan hanya kasus ini saja yang mandeg, tapi banyak kasus pelanggaran HAM lainnya bernasib serupa.

Keluarga korban, Tuti Koto, mengatakan upaya meminta bantuan ke berbagai lembaga negara untuk menuntaskan kasus ini sudah dilakukan sejak lama. Termasuk saat Munir masih hidup. Namun tidak berbuah hasil positif. Tuti mengaku gembira ketika DPR menerbitkan rekomendasi kepada Presiden, tapi ternyata tak sesuai harapan. Bahkan ketika beberapa kali bertemu langsung dengan Presiden, Tuti mengaku hanya diberi janji yang sampai saat ini belum dipenuhi.

Tags: