MK Cabut Aturan Banding Praperadilan
Utama

MK Cabut Aturan Banding Praperadilan

Pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
MK lewat putusannya hapus aturan banding praperadilan. Foto: Sgp
MK lewat putusannya hapus aturan banding praperadilan. Foto: Sgp

Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya menyatakan menghapus ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan. Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan anggota polisi, Tjetje Iskandar yang memohon pengujian pasal itu.

“Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata ketua majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya di ruang sidang Gedung MK, Selasa (1/5).

Tjeje memohon pengujian Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP lantaran dinilai diskriminatif. Sebab, pasal itu hanya membolehkan termohon (penyidik/penuntut umum) praperadilan untuk mengajukan banding jika permohonan praperadilan terkait sah-tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan dikabulkan majelis hakim. Sementara, bagi pemohon praperadilan tidak tersedia upaya hukum banding.

Pasalnya, Tjeje pernah mengalami kasus pidana yang dihentikan penyidikan (SP-3) lewat Surat Ketetapan No. Pol. S.Tap/20-BupI/VII/2002 tanggal 4 Juli 2002 yang dikeluarkan Direspidum Mabes Polri Brigjen Aryanto Sutadi. Lalu, pemohon mengajukan praperadilan yang memutuskan permohonan praperadilan ditolak lewat putusan No. 27/Pid/Prap/2011/PN Jaksel tanggal 23 Agustus 2011.

Artinya, SP3 atas kasus itu tetap dinyatakan sah. Meskipun Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP melarang pihak pemohon untuk banding, Tjetje tetap mengajukan banding atas putusan praperadilan itu yang memori bandingnya telah diserahkan pada 9 September 2011.

Selengkapnya, Pasal 83 ayat (1) KUHAP berbunyi, “Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”. Lalu, ayat (2) menyatakan “dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi”.

Atas penghapusan pasal itu, Mahkamah beralasan acara praperadilan adalah acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding (baik oleh pemohon atau termohon). MK menilai Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena  tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil.

Menurut Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP telah memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. “Ketentuan itu tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Mahkamah berpendapat untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP terdapat dua alternatif. Pertama, memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding. Atau, kedua, menghapuskan hak penyidik/penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding.

Menurut Mahkamah, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat adalah untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka, terdakwa, penyidik, dan penuntut umum. Karena itu pula, pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.

“Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak itu, maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum. Sedangkan permohonan pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (1) KUHAP tidak beralasan menurut hukum,” kata Ahmad Sodiki.

Tags: