Figur di Balik Suksesnya Reformasi Peradilan Agama
Kolom

Figur di Balik Suksesnya Reformasi Peradilan Agama

Revolusi teknologi informasi yang diinisiasi oleh Wahyu Widiana ini berdampak sangat luas dan masif bagi akselerasi reformasi di peradilan agama.

Bacaan 2 Menit
Figur di Balik Suksesnya Reformasi Peradilan Agama
Hukumonline

Ketika disebut kata peradilan agama, banyak orang masih menganggap institusi ini masih di bawah binaan Kementerian Agama. Padahal sejak diberlakukannya sistem satu atap (one-roof system) yang pertama kali diatur dalam Undang-undang No 35 Tahun 1999, semua hal yang berkaitan dengan peradilan (peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer) berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung(MA). Sistem Satu Atap sendiri mulai efektif berjalan sejak 2004.

Belum banyak yang menyadari bahwa sejak jatuhnya Soeharto dengan rezim orde barunya, peradilan agama telah berhasil secara sistematis melakukan reformasi secara fenomenal dalam kurun waktu yang cukup singkat sejak berada dalam Sistem Satu Atap tersebut. Keberhasilan ini sudah diakui oleh sejumlah pengamat, ilmuan, dan aktivis peradilan internasional serta tentunya berbagai kalangan dalam negeri yang intens mengikuti perkembangan dunia peradilan.

Wahyu Widiana, Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag) MA, adalah tokoh dibalik kesuksesan reformasi itu. Wahyu Widiana bukan nama yang asing bagi komunitas dan pemerhati peradilan Australia. Namanya juga sudah begitu akrab di telinga para anggota dan pengurus IACA (International Association for Court Administration), sebuah organisasi internasional tentang administrasi pengadilan yang berdiri tahun 2004 dan bermarkas di Amerika Serikat.

Pengakuan Publik Internasional
Pengakuan dunia akan suksesnya Wahyu Widiana dalam membawa gerbong reformasi peradilan agama salah satunya bisa dirujuk dari tulisan Cate Sumner, aktivis peradilan dan HAM berkebangsaan Australia, dan ProfTimothy Lindsey, guru besar Asian Law dari Melbourne University, Australia.

Dalam bukunya “Courting Reform; Indonesia’s Islamic Courts and Justice for the Poor” yang terbit Desember 2010 lalu, Cate dan Tim Lindsey secara tegas menyebut bahwa peradilan agama telah berhasil melakukan reformasi di tengah meluasnya anggapan publik tentang sistem pengadilan di Indonesia yang disfungsional.

Lebih lanjut, kedua penulis itu mengatakan bahwa dalam berbagai hal, peradilan agama dapat dijadikan model tidak hanya oleh lingkungan peradilan lainnya di Indonesia tapi juga oleh peradilan Islam lainnya di Asia Tenggara.

Dua faktor yang paling berperan dalam kesuksesan reformasi itu menurut Cate dan Tim terletak pada kuatnya kepemimpinan (strong leadership) di tubuh peradilan agama dan handalnya pemanfaatan media komunikasi dan informasi yang digunakan. Secara eksplisit kedua penulis itu menyebut bahwa peradilan agama diuntungkan karena memiliki satu orang pemimpin seperti Wahyu Widiana dalam kurun waktu hampir 12  tahun dan terlatih dalam hal manajemen.

Pengalaman Wahyu Widiana, alumnus paska sarjana Michigan University USA, yang pernah menjadi staf ahli dan sekretaris beberapa Menteri Agama, agaknya berkontribusi atas kepiawaiannya dalam memimpin peradilan agama yang kini berjumlah 388 pengadilan di seluruh Indonesia yang terdiri dari 359 pengadilan tingkat pertama dan 29 tingkat banding.

Pengakuan sarjana internasional lainnya datang dari ProfMark Cammack, guru besar Southwestern Law School, Los Angeles California USA. Dalam buku ‘Islamic Law in Contemporary Indonesia; Ideas and Institutions’ (2007), Cammack menyebut meski masih ada beberapa kelemahan, peradilan agama relatif merupakan kisah sukses dalam sistem hukum yang disfungsional (disfunctional legal system) di Indonesia.

Bahkan tokoh sekaliber Daniel S Lev (1999) pun mengakui bahwa peradilan agama merupakan pengecualian dari persepsi publik yang kurang baik terhadap pengadilan. Ini dikarenakan, menurut Lev, peradilan agama bekerja dengan baik.

Pernyataan para pakar di atas bukan sekedar klaim semata tetapi juga didukung oleh fakta. Setidaknya ada tiga survei skala nasional yang mendukung pernyataan tersebut. Pertama, yang diadakan oleh The Asia Foundation bekerjasama dengan ACNielsen yang dirilis dalam ‘Survey Report on Citizens’ Perception of the Indonesian Justice Sector’ pada bulan Agustus 2001. Hasil survey tersebut mengkategorikan peradilan agama sebagai lembaga yang efektif dengan ciri-cirinya yang trustworthy (dapat dipercaya), does job well (melakukan pekerjaan dengan baik), timely (tepat waktu), helpful (membantu), dan the first to go with a legal problem (lembaga rujukan pertama jika ada masalah hukum).

Kedua, survei nasional yang dilakukan oleh IALDF (Indonesia Australia Legal Development Facilty) dan PPM UIN Jakarta yang didanai oleh AusAID tahun 2007. Dari rilis survey yang dikemas dalam buku ‘Providing Justice to the Justice Seeker; A Report on the Indonesian Religious Courts Access and Equity Study-2007’, diketahui bahwa lebih dari 80 persenpengguna pengadilan agama merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pengadilan. Survei yang bergenre client feedback dalam skala besar ini adalah yang pertama kali dilakukan oleh institusi pengadilan sepanjang sejarah Indonesia. Hasil survei 2007 ini juga dipertegas oleh hasil serupa dari surveinasional yang diadakan pada tahun 2009.

Dilihat dari perspektif hasil survei tersebut, Cate dan Tim Lindsey menilai peradilan agama sebagai salah satu institusi peradilan yang paling berhasil di Indonesia. Sesuatu yang menurut keduanya adalah ironis mengingat peradilan ini begitu lama diabaikan oleh negara dan dianggap tidak lebih penting dibanding peradilan lainnya di Indonesia.

Reformasi Massive Internal
Lantas apa saja sebetulnya yang telah dilakukan oleh peradilan agama dibawah komando Wahyu Widiana dalam mensukseskan misi reformasinya? Ada sejumlah kebijakan dan aktivitas penting yang dilahirkan dan dipelopori oleh Badilag. Dua hal yang terlihat paling menonjol adalah revolusi teknologi informasi dan program justice for the poor.

Revolusi teknologi informasi –meminjam istilah Cate dan Tim- yang diinisiasi oleh Wahyu Widiana ini berdampak sangat luas dan masifbagi akselerasi reformasi di peradilan agama. Inisiatif ini diambil Wahyu tidak lama setelah mempelajari sistem IT di Family Court of Australia yang difasilitasi AusAID.

Dimulai dengan pembangunan website www.badilag.net pada tahun 2005 Badilag kemudian mengembangkan pemanfaatan teknologi informasi tersebut untuk kebutuhan transparansi dan akuntabilitas peradilan (judicial transparency and accountability), administrasi penanganan perkara (case administration system), dan pelayanan publik (public services). Tidak itu saja, pemanfaatan IT itu digunakan juga untuk fungsi-fungsi lainnya yang berkaitan dengan perbaikan kinerja peradilan, percepatan penyebaran informasi dan gagasan reformasi, serta kontrol pelaksanaan kebijakan yang dapat secara cepat dijalankan oleh jajaran peradilan agama di seluruh Indonesia.

Dalam konteks ini, apa yang coba dibuktikan oleh seorang hakim dari Amsterdam Belanda, Dory Reiling, dalam disertasinya yang berjudul Technology for Justice; How Information Technology Can Support Judicial Reform (2009) menemukan pembenarannya di peradilan agama.

Dory Reiling dalam disertasinya yang setebal 297 halaman itu memaparkan dengan gamblang peran vital teknologi informasi (Information Technology) dalam menopang reformasi peradilan terutama dalam menangani tiga keluhan utama masyarakat dunia terhadap peradilan yakni: 1) delay (penundaan) dalam penanganan perkara, pemberian putusan dan keadilan, 2) access to justice (akses pada keadilan), dan 3) integrity (integritas dan korupsi).

Secara lebih spesifik, Aria Suyudi, et.al dalam bukunya Pemetaan Implementasi Teknologi Informasi di Mahkamah Agung RI (2010) menyebut Badilag sebagai pelopor pengelolaan website secara desentralisasi di Mahkamah Agung yang kemudian secara tidak resmi diadopsi sebagai model pengelolaan website di jajaran peradilan di bawah MA.

Kini hampir semua pengadilan agama/mahkamah syar’iah memiliki website dan memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kinerja baik untuk kepentingan pelayan publik secara umum maupun untuk membantu tugas-tugas judisial pengadilan. Salah satu kunci suksesnya adalah dorongan aktif dari pimpinan yang dimulai dari pimpinan tertinggi di Badilag MA, Wahyu Widiana.

Adapun mengenai program justice for the poor di Peradilan Agama yang banyak mendapat apresiasi dari berbagai pihak, berkisar pada akses kepada keadilan bagi masyarakat miskin, kaum perempuan dan yang terpinggirkan (marginalized people). Ada juga penyediaan Pos Bantuan Hukum, fasilitas perkara prodeo dan sidang keliling (circuit court).

Mengenai akses masyarakat miskin ke pengadilan agama, menarik kita lihat laporan salah satu badan di PBB, yaitu UN Women. Dalam laporannya yang didokumentasikan dalam Progress of the World’s Women in Pursuit of Justice 2011-2012, di halaman 75 dalam sub judul Women’s access to religious courts in Indonesia, disebutkan bahwa berdasarkan data yang ada, terdapat peningkatan 14 kali lipat jumlah rakyat miskin yang dapat mengakses pengadilan agama antara tahun 2007 dan 2010.

Peningkatan jumlah yang sangat fantastis itu dimungkinkan karena keterbukaannya peradilan agama dalam melakukan kerjasama dengan civil society seperti LSM PEKKA, sejumlah LBH, kalangan universitas dan lembaga-lembaga dunia seperti World Bank dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan program lainnya yang sangat membantu masyarakat miskin seperi fasilitas prodeo dan sidang keliling. Dari hasil survei AusAID diatas dapat dibaca bahwa masyarakat miskin mengaku sangat terbantu dengan adanya kedua program tersebut. Program terbaru yang baru saja berjalan mulai tahun 2011 lalu adalah Pos Bantuan Hukum (Posbakum). Posbakum ini berbeda dengan fasilitas serupa yang pernah ada di peradilan Indonesia.

Dengan anggaran yang bisa dibilang minimalis, Posbakum secara bertahap diimplementasikan di 46 PA seluruh Indonesia dengan target bisa melayani 11.553 pengguna pengadilan yang tidak mampu. Akan tetapi, berdasarkan data yang dirilis Ditjen Badilag MA, jumlah orang miskin yang menerima bantuan dari Posbakum itu adalah 35.009 pengguna pengadilan, lebih dari tiga kali lipat dari jumlah target yang ditetapkan.

Banyak lagi sejumlah gagasan, kebijakan dan program brilliant yang dicetuskan Wahyu Widiana dalam mereformasi peradilan agama. Reformasi yang dijalankan peradilan agama ini sangat penting karena dampaknya yang begitu besar untuk masyarakat Indonesia. Seperti yang Cate Sumner dan Tim Lindsey (2010) nyatakan:

“It is a little-known fact that the Religious Courts have the largest number of cases of any jurisdiction in Indonesia. Because of this, the reform under way in the Religious Courts will have an impact on the majority of court users in Indonesia. In particular, Indonesia’s Religious Courts play a crucial role in development poverty alleviation.”

Adalah fakta yang tidak banyak diketahui publik bahwa peradilan agama memiliki jumlah terbesar dari keseluruhan perkara yang diterima pengadilan di Indonesia. Oleh karenanya, reformasi yang berjalan di peradilan agama akan berdampak pada sebagian besar pengguna pengadilan di Indonesia. Secara khusus, peradilan agama memainkan peranan penting dalam proses pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Bapak Reformasi Peradilan Agama
Berdasarkan pencapaian yang fenomenal di atas, Wahyu Widiana layak disebut sebagai Bapak Reformasi Peradilan Agama. Sumbangsih dan kiprahnya dalam memimpin peradilan agama sejak Mei 2000 hingga saat ini begitu nyata dirasakan tidak hanya oleh warga peradilan secara umum tapi juga oleh masyarakat luas di Indonesia.

Kesuksesan Wahyu Widiana dalam menahkodai peradilan agama tentu bukan hanya hasil kerjanya seorang. Ada sederetan para pendahulunya yang telah meletakkan fondasi yang begitu kuat. Ada dukungan ulama dan masyarakat. Ada support jajaran pimpinan Mahkamah Agung yang begitu solid disamping komunitas peradilan agama seluruh Indonesia yang bahu membahu mewujudkan cita-cita reformasi. Akan tetapi, trigger dan driver reformasi itu memang dipegang olehnya sebagai orang nomor satu di Ditjen Badilag MA.

Banyak yang menyebut tipe kepemimpinan Wahyu Widiana mirip dengan Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan. Ia dikenal dekat dengan bawahan, tidak membeda-bedakan satu dengan lainnya berdasarkan jenjang struktural birokrasi. Ia juga tidak segan untuk turun tangan langsung menangani hal-hal ‘kecil’ yang bisa mempengaruhi suksesnya sebuah kebijakan dan program. Banyak ide segar yang terlontar dari pikirannya dan kadang terlihat seperti ‘out of the box’. Seringkali,ia diam-diam datang langsung ke pengadilan-pengadilan hanya untuk mengetahui secara real bagaimana pelayanan diberikan kepada masyarakat.

Jika berkah sistem satu atap bisa dikatakan berhasil mereformasi peradilan agama secara fisik dengan ditandai semakin banyaknya bangunan kantor pengadilan agama yang berdiri megah dan berwibawa di pusat-pusat kota, maka Wahyu Widiana dapat dikatakan berhasil mereformasi dan membentuk watak dan budaya warga Peradilan Agama menuju peradilan modern berkelas dunia.

Menurut ketentuan, September 2012 yang akan datang beliau akan mengakhiri masa jabatannya karena sudah mencapai usia 60 tahun. Kita tentu berharap kiprahnya dalam memajukan dunia peradilan tidak berhenti meski paska pensiun nanti. Warga peradilan akan selalu menanti sumbangsih pikiran dan peranmu “Bapak Reformasi Peradilan Agama”.

*Hakim Pengadilan Agama Bekasi
Mahasiswa Melbourne Law School,The University of Melbourne, Australia


BIBLIOGRAPHY
Aria Suyudi, et.al,  Pemetaan Implementasi Teknologi Informasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia/PSHK, 2010).

Cate Sumner and Tim Lindsey, Courting Reform; Indonesia’s Islamic Courts and Justice for the Poor (Lowy Institute, 2010).

Cate Sumner, Providing Justice to the Justice Seeker: A Report on the Indonesian Religious Courts Access and Equity Study- 2007 (Mahkamah Agung and AusAID, 2008).

Cate Sumner, Providing Justice to the Justice Seeker: A Report on the Access and Equity Study in the Indonesian General and Religious Courts 2007-2009 (Mahkamah Agung and AusAID, 2010).

Daniel S Lev, ‘Comments on the Course of Law Reform in Modern Indonesia’ in Drew Duncan and Timothy Lindsey (eds), Indonesia After Soeharto; Reformasi and Reaction (Center for Asia-Pacific Initiatives, 1999).

Dory Reiling, Technology for Justice; How Information technology Can Support Judicial reform (Leiden University Press, 2009).

Mark E Cammack. ‘The Indonesian Islamic Judiciary’ in R. Michael Feener and Mark E. Cammack (eds), Islamic Law in Contemporary Indonesia; Ideas and Institutions (Harvard University Press, 2007).

The Asia Foundation, Survey Report on Citizens’ Perception of the Indonesian Justice Sector; Preliminary Findings and Recommendations, Jakarta, 2001.

UN Women, Progress of the World’s Women in Pursuit of Justice 2011-2012, http://progress.unwomen.org/pdfs/EN-Report-Progress.pdf

www.badilag.net


www.mahkamahagung.go.id

Tags: