MA Diminta Tolak PK Koruptor Buron
Utama

MA Diminta Tolak PK Koruptor Buron

Dengan alasan beban perkara yang cukup tinggi, hakim agung sulit membuat salinan putusan secara cepat.

Oleh:
agus sahbani
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Agung diminta tolak PK terpidana korupsi yang buron. Foto: Sgp
Mahkamah Agung diminta tolak PK terpidana korupsi yang buron. Foto: Sgp

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) meminta Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) terpidana korupsi yang dinyatakan buron.

”Kita mempertanyakan sikap pengadilan yang menerima permohonan PK yang diajukan para koruptor yang melarikan diri (DPO),” kata perwakilan KPP dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho usai melakukan pertemuan di Gedung MA, Jum’at (11/5).   

Dalam pertemuan tertutup, KPP – terdiri dari ICW, Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI FHUI), PSHK, LeIP, dan MTI - diterima Ketua Muda Pidana Khusus MA, Djoko Sarwoko.

KPP beralasan pada bunyi SEMA No 6 Tahun 1988. Surat edaran yang ditandatangani Ketua MA Ali Said (waktu itu) menyebutkan bahwa pengadilan supaya menolak atau tidak melayani penasehat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali. ”Ini artinya permohonan dan atau pemeriksaan di persidangan harus dilakukan sendiri oleh pemohon atau terdakwa,” ujar Emerson.

Emerson mengungkapkan ada beberapa perkara tak hanya menerima pengajuan PK, celakanya MA mengabulkan PK dengan membebaskan koruptor yang pernah kabur yang sebelumnya dihukum di tingkat kasasi.

Emerson mencontohkan, kasus Lesmana Basuki, Presiden Direktur PT SBU yang menjadi terpidana perkara korupsi menjual surat-surat berharga berupa commercial paper yang membuat negara rugi Rp209 Miliar. MA menjatuhkan Vonis 2 tahun penjara, namun tidak bisa dieksekusi karena melarikan diri. Saat masuk DPO, terpidana mengajukan PK pada 2004 dan dibebaskan pada 2007. 

Selain itu, ia membeberkan setidaknya KPP mencatat sekitar 66 terpidana korupsi batal dieksekusi kejaksaan lantaran terjadi keterlambatan proses pengiriman salinan putusan yang mengakibatkan tertundanya eksekusi. Hingga akhirnya muncul putusan PK yang justru membebaskan para koruptor. “Untuk itu, KPP meminta MA menolak permohonan PK yang diajukan koruptor yang buron,” tegas Emerson.

Lamban
KPP juga mengkritik MA yang lamban mengirimkan salinan putusan khususnya dalam perkara korupsi. ”Sedikitnya ada 49 terpidana korupsi yang belum dieksekusi atau diduga belum dieksekusi meski putusannya sudah berkekuatan hukum tetap,” ungkap Emerson.

Menurutnya, keterlambatan eksekusi koruptor tidak bisa dilepaskan dari peran institusi pengadilan negeri hingga MA. ”Petikan atau salinan putusan seringkali baru diterima oleh kejaksaan beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian,” tudingnya.

Akibatnya, lanjut Emerson, proses keterlambatan ini berdampak terbukanya peluang bagi koruptor untuk melarikan diri baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. ”Kalau sudah begitu, yang terjadi nantinya antara pengadilan dan kejaksaan saling menyalahkan,” tutur Emerson.

Ia menilai kebijakan adanya SEMA No 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA No  2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan Putusan dan Petikan Putusan sudah cukup positif karena telah memberi jangka waktu yang jelas. Namun, dalam praktiknya tidak berjalan maksimal.

Memang dalam angka satu SEMA No  1 Tahun 2011 menyebutkan petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan.

Namun, angka 2 SEMA ini menyebutkan untuk perkara pidana pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan kepada terdakwa/penasihat hukumnya, penuntut umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan menurut sesuai ketentuan KUHAP.

”Misalnya, pada kasus Sumita Tobing tahun 2011, padahal salinan putusan sudah di-upload di website MA, namun belum juga dieksekusi karena salinan belum sampai ke Kejaksaan dan Bupati Lampung Timur nonaktif, Satono yang saat ini masih buron.”  

Ditambahkan Emerson, manajemen perkara di MA terkait penyelesaian putusan minutasi putusan berbanding terbalik dibanding proses minutasi di Mahkamah Konstitusi (MK). “Usai putusan MK dibacakan pada hari sama salinan putusan bisa langsung diperoleh pada pihak dan bisa di-download website MK,” tambahnya.

Koalisi juga mencatat lembaga peradilan mengeluarkan putusan lain yang kontroversial, yaitu hukuman percobaan bagi terdakwa korupsi. Selama rentang waktu 2006 hingga 2012, ICW mencatat 39 orang terdakwa yang dijatuhi vonis dengan masa percobaan. Alasannya karena terdakwa telah mengembalikan kerugian maupun alasan kemanusiaan lainnya. 

“Semestinya tidak ada hukuman percobaan untuk korupsi karena dipastikan terdakwa tidak akan menjalani hukuman meski dinyatakan bersalah. Ini kelihatan hanya akal-akalan hukum.”  

Juru Bicara MA Djoko Sarwoko mengatakan menerima semua yang disampaikan KPP terutama terkait usulan penolakan permohonan PK bagi terpidana korupsi. Ia mengatakan awalnya ada perbedaan pendapat di kalangan hakim agung jika terpidana korupsi kabur mengajukan PK lewat kuasa hukumnya, sementara menurut undang-undang pemohonnya harus hadir.

“Namun, dalam rapat pleno di kamar pidana belum lama ini disepakati untuk kasus seperti itu jawabannya hanya satu, putusannya ditolak atau tidak dapat diterima. Sebab, pemohon PK harus hadir dalam sidang,” kata Djoko.            

Terkait lambannya pengiriman salinan putusan, menurut Djoko pihaknya telah menerbitkan SEMA No 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan Kasasi dan PK dari pengadilan pengaju.

“Kebijakan ini sebenarnya bisa mempercepat minutasi (pengetikan) putusan di MA. Apalagi, perkara korupsi cukup banyak dan termasuk perkara yang mendapat perhatian masyarakat, makanya kita akan prioritaskan untuk mempercepat pembuatan salinan putusan,” katanya.  

Tags: