PBB Diharapkan Cecar Indonesia Terkait HAM
Berita

PBB Diharapkan Cecar Indonesia Terkait HAM

Menagih janji-janji manis dan klaim pemerintah Indonesia soal penegakan HAM.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
KontraS dan Human Rights Watch gelar jumpa pers mengenai masalah HAM di Indonesia. Foto: Sgp
KontraS dan Human Rights Watch gelar jumpa pers mengenai masalah HAM di Indonesia. Foto: Sgp

Setiap empat tahun sekali, Dewan HAM PBB melakukan Tinjauan Periodik Universal (UPR) kepada seluruh negara anggota PBB. Kemudian Dewan HAM PBB memberikan catatan terhadap negara yang ditinjau sekaligus memberi rekomendasi untuk membenahi masalah HAM yang ada.

Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Human Rights Watch (HRW), Indonesia pernah ditinjau dalam sidang UPR di tahun 2008. Dari persidangan itu setidaknya terdapat tujuh rekomendasi yang diberikan PBB untuk dijalankan pemerintah Indonesia. Di antaranya mengembangkan pendidikan dan pelatihan HAM, ratifikasi berbagai instrumen HAM, mendukung dan melindungi masyarakat sipil serta lainnya.

Dalam proses persidangan UPR pekan depan di PBB, menurut Deputi Direktur HRW – Asia, Elaine Pearson, pemerintah Indonesia akan ditagih terkait pelaksanaan rekomendasi tersebut. Selain itu dia memprediksi rekomendasi yang akan diterbitkan PBB untuk Indonesia pada tahun ini akan lebih rinci dan detail. Pasalnya, sejak enam bulan yang lalu Pearson melihat berbagai LSM lokal telah mengirimkan rekomendasi dan catatan kepada PBB tentang pelaksanaan HAM di Indonesia.

Dari hasil pantauannya dari tahun 2008 sampai hari ini Pearson melihat sejumlah kemajuan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam bidang HAM. Yaitu masyarakat sipil semakin kuat, media tergolong independen dan telah meratifikasi konvensi perlindungan pekerja migran serta konvensi untuk orang hilang.

Sayangnya, dalam periode yang sama, Pearson melihat masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Salah satunya soal kebebasan beragama. Pearson menilai pemerintah Indonesia seolah menutup mata atas persoalan itu. Hal serupa menurut Pearson juga terjadi ketika aparat keamanan melakukan pelanggaran HAM. Pearson juga mengingatkan dan mengkritik pemerintah Indonesia, karena masih terdapat 100 orang tahanan politik.

Atas dasar itu Pearson menilai sangat penting bagi negara anggota PBB untuk bertanya dengan keras kenapa bentuk-bentuk pelanggaran itu masih kerap terjadi. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, Pearson merasa tindak kekerasan bernuansa agama meningkat. Ironisnya, Pearson merasa pemerintah Indonesia berkontribusi atas peningkatan tindak kekerasan itu.

Salah satu contoh kasus kekerasan yang dipantau Pearson adalah penyerangan kelompok Islam tertentu terhadap Ahmadiyah. Dalam empat tahun terakhir setidaknya Pearson mencatat 30 tempat ibadah Ahmadiyah ditutup paksa. Ketika Pearson berkunjung ke Indonesia pada November tahun lalu, dia menyempatkan diri berkunjung ke salah satu masjid Ahmadiyah di daerah Bekasi.

Pada saat itu, Imam masjid mengatakan kepada Pearson ada kelompok Islam tertentu mengancam akan menutup Masjid itu dengan acuan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Benar saja, ketika Pearson kembali berkunjung ke Indonesia tahun ini, masjid itu sudah ditutup.

Dari pantauan Pearson, pemerintah Indonesia berdalih SKB itu untuk melindungi komunitas Ahmadiyah dari tindak kekerasan. Selain itu SKB tersebut juga disebut hanya melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya. Peristiwa serupa menurut Pearson juga dialami oleh komunitas umat beragama lainnya. Misalnya dua gereja yang ditutup, masing-masing di daerah Bogor dan Bekasi.

Selain persoalan kebebasan beragama, Pearson juga mencermati berbagai isu HAM lainnya seperti tahanan politik dan pembatasan kebebasan berekspresi dalam dunia maya.

“Dalam pelaporan ke PBB, Indonesia mengatakan menghargai kebebasan berpendapat dan beropini,” kata Pearson ketika menerangkan klaim yang sering diutarakan pemerintah Indonesia di PBB dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Senin (15/5). Namun, Pearson merasa klaim itu tidak seperti kenyataan yang ada. Dalam kasus kebebasan berekspresi di dunia maya, Pearson mencatat kasus Prita Mulyasari.

Dalam laporan pemerintah Indonesia kepada PBB Pearson juga melihat pemerintah Indonesia mengklaim tahun 2010 – 2011 Pengadilan Militer sudah mengadili 1500 aparat keamanan. Dari pantauan HRW dan KontraS, Pearson merasa hanya segelintir dari ribuan kasus itu yang terkait HAM sehingga tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat sipil atas penegakan HAM.

Pearson mengingatkan, Indonesia menjadi salah satu anggota Dewan HAM PBB. Oleh karenanya Pearson mengimbau agar pemerintah Indonesia lebih aktif mempromosikan penegakan HAM di dalam ataupun luar negeri. Dia berharap nantinya pemerintah Indonesia dapat menjalankan rekomendasi dari hasil UPR 2012 secara serius dan bertanggungjawab.

Pada kesempatan sama Koordinator KontraS, Haris Azhar, mengatakan sejak reformasi bergulir tahun 1998, terdapat sejumlah produk perundang-undangan yang semangatnya membenahi sektor HAM. Sayangnya, Haris melihat terdapat produk legislasi yang berpotensi besar merepresi kedaulatan masyarakat sipil.

T
entu saja sejumlah peraturan represif yang masih bercokol itu bagi Haris sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, Haris melihat fenomena yang berkembang sekarang ini menunjukan kemunduran terhadap penegakan hukum dan HAM. Haris merasa pemerintah semakin abai untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. “Dewan HAM PBB harus lebih serius melihat masalah ini,” tegasnya.

Lebih jauh, Haris memprediksi jika penuntasan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan dibiarkan berlarut, maka menimbulkan kebiasaan buruk. Contohnya ketika aparat keamanan melakukan penembakan yang tidak prosedural, atau melakukan penyiksaan. Maka penyelesaiannya hanya lewat mekanisme internal dari institusi itu sendiri. Misalnya Mahkamah Militer atau Sidang Etik. Bagi Haris persoalan ini menyangkut akuntabilitas aparat keamanan.

Mengenai tahanan politik, Haris menegaskan dalam negara berlandaskan demokrasi dan HAM, hal tersebut tidak diperbolehkan. Jika dalam sebuah negara masih terdapat tahanan politik, maka terdapat ketidakberesan dalam sistem demokrasi di negara tersebut.

Selain itu, Haris mengingatkan, tiga tahun setelah UPR yang pertama digelar, proses hukum penyelesaian kasus Munir terhenti. Bahkan tidak ada kemajuan positif dalam kasus tersebut. Persoalan ini bagi Haris menjadi catatan penting masyarakat internasional kepada pemerintah Indonesia.

Tak kalah pentingnya Haris menyebut tindak kekerasan di tahun 2011 meningkat 100 persen dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu, menjelang digelarnya sidang UPR 2012, Haris mengatakan masyarakat Internasional berperan besar untuk membenahi permasalahan HAM di Indonesia.

Haris menjelaskan, jika negara anggota PBB tidak menjalankan rekomendasi yang dihasilkan dari proses UPR maka terdapat sanksi yang dijatuhkan masyarakat internasional. Yaitu menekan pemerintah yang bersangkutan dan memberi kecaman.

Tags: