Penegakan HAM di Era Reformasi Mandek
Berita

Penegakan HAM di Era Reformasi Mandek

Banyak regulasi yang tidak menghormati dan menjamin HAM.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Haris Azhar (kanan) Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan. Foto: Sgp
Haris Azhar (kanan) Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan. Foto: Sgp

Reformasi yang bergulir sejak 1998 diharapkan dapat membawa perbaikan pada isu penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Namun setelah 14 tahun berlalu, berbagai pihak merasa proses reformasi berjalan lamban. Bahkan ada yang mengatakan reformasi bukan jawaban untuk menuntaskan persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia.

Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, menyatakan pasca lengsernya Soeharto, terdapat sejumlah kemajuan di bidang penegakan HAM. Misalnya penguatan HAM di bidang legislasi dan diplomasi pemerintah Indonesia di ranah internasional.

Sayangnya, dalam periode yang sama KontraS mencatat terdapat kemunduran. Misalnya banyak legislasi yang anti HAM, serta terancamnya kepemilikan adat dan kebebasan sipil. KontraS menilai pemerintah gagal menyesuaikan regulasi yang ada dengan penegakan HAM sebagaimana diatur dalam konstitusi dan berbagai aturan HAM lainnya.

Atas temuan itu KontraS berkesimpulan HAM hanya menjadi tren bagi pemerintahan pasca reformasi. Pasalnya, ruang yang diberikan untuk pemenuhan dan perlindungan HAM, terutama dalam tjuh tahun terakhir, tergolong minim.

KontraS mencatat praktik kekerasan terus terjadi. Ironisnya, negara memberikan dukungan atau perlindungan kepada pelaku kekerasan lain seperti organisasi massa dan perusahaan-perusahaan. Selain itu sistem dan mekanisme akuntabilitas negara dalam soal kekerasan tergolong buruk dan diskriminatif.

“Reformasi (perubahan) digunakan untuk memuluskan kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja. Penguasa di era reformasi, terutama SBY (Susilo Bambang Yudhoyono,-red), malah takut, sehingga mengakomodir para pelaku kejahatan HAM,” kata Haris kepada hukumonline lewat pesan singkat, Senin (21/5).

Negara, Haris melanjutkan, lebih memilih penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM itu dalam institusinya. Sedangkan masyarakat sipil cukup mudah menjadi korban rekayasa kasus. Upaya koreksi terhadap peristiwa dan kebijakan pelanggaran HAM bagi Haris sangat rendah diakomodir.

Tags: