Pemerintah Dicecar PBB Soal Kebebasan Beragama
Berita

Pemerintah Dicecar PBB Soal Kebebasan Beragama

Pemerintah juga dikritik soal KUHP yang belum direvisi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dicecar PBB soal kebebasan beragama. Foto: ilustrasi (Sgp)
Pemerintah dicecar PBB soal kebebasan beragama. Foto: ilustrasi (Sgp)

Sidang UPR yang berlangsung di Jenewa, Swiss pada 23 Mei 2012, menjadi ajang kritisi masyarakat internasional terhadap pemerintah Indonesia. Pasalnya, sidang yang berlangsung lebih dari tiga jam itu dipenuhi berbagai catatan kritis dari 75 negara yang hadir. Dari banyak isu yang disampaikan, soal kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi hal yang paling disorot.


Sebelumnya, sejumlah LSM sudah meminta agar masyarakat internasional melakukan hal serupa. Dari pantauan Human Right Working Group (HRWG), negara yang mengkritisi pemerintah Indonesia soal kebebasan beragama bukan hanya berasal dari negara barat, tapi juga negara Eropa Timur dan Asia. Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin mengatakan, hal itu membuktikan bahwa persoalan HAM yang ada di Indonesia mendapat perhatian dari masyarakat internasional. Menurutnya, sorotan tajam itu timbul akibat masifnya tindak kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia, khususnya terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.


Sejumlah kasus yang sering ditanyakan dalam proses persidangan seperti tindak kekerasan yang kerap dialami kelompok Nasrani, Ahmadiyah, Syiah dan Bahai. “Bahkan, terdapat perwakilan negara yang tidak menyangka kasus semacam GKI Yasmin, Bogor, terjadi di sebuah negara yang menyebut dirinya menjunjung tinggi hukum dan HAM,” kata Rafendi yang melakukan pemantauan langsung di Jenewa kepada wartawan lewat fasilitas teleconference di kantor HRWG, Kamis (24/5).


Dalam menyampaikan jawabannya atas laporan HAM dari pemerintah Indonesia, ia mengatakan negara-negara lain membuka komentarnya dengan pujian. Misalnya, mengapresiasi posisi Indonesia di tingkat regional dan global sebagai salah satu negara yang cukup berperan dalam diskursus HAM dan demokrasi.


Namun, beberapa negara menilai capaian positif itu terlihat kontradiktif dengan kondisi faktual penegakkan hukum, HAM dan demokrasi di tingkat nasional. Ada negara yang menyatakan aparat penegak hukum di Indonesia gagal dalam menindak para pelaku tindak kekerasan berbasis agama dan pelanggaran HAM.


Dari pantauannya, Rafendi mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Marty Natalegawa menyebut kelompok yang melakukan tindak kekerasan itu sebagai ekstrimis. Artinya, kelompok yang memaksakan interpretasi keagamaan mereka kepada seluruh masyarakat. Marty juga mengatakan bahwa persoalan kekerasan berbasis agama akan menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia.


Selain itu, Marty berjanji kepada masyarakat internasional bahwa pemerintah Indonesia akan berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai kasus tindak kekerasan berbasis agama. Menurut Menlu, hal itu sebagai ancaman serius bagi demokrasi dan HAM di Indonesia. “Ini adalah hal yang harus ditindaklanjuti di masa mendatang, bagaimana komitmen yang telah diucapkan di PBB untuk dilaksanakan oleh pemerintah,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: