Perbankan Masih Keberatan Soal Iuran OJK
Utama

Perbankan Masih Keberatan Soal Iuran OJK

Jika tidak ada bank yang gagal dan perlu diselamatkan, iuran OJK bisa diambil dari LPS yang dananya berasal dari industri perbankan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Perbanas mengusulkan iuran OJK diambil dari dana operasional BI. Foto: perbanas.org
Perbanas mengusulkan iuran OJK diambil dari dana operasional BI. Foto: perbanas.org

Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) masih keberatan dengan rencana iuran yang akan dipungut lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasalnya, industri perbankan juga membayar iuran kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hal ini diungkapkan oleh Ketua Perbanas Sigit Pramono usai melakukan Rapat Dengan Pendapat Umum bersama Komisi XI DPR, Selasa (29/5).

“Kami tetap merasa iuran ini akan memberatkan industri perbankan,” kata Sigit.

Dia berpendapat, sebaiknya iuran untuk OJK diambil dari dana operasional Bank Indonesia (BI) dan LPS. Pertimbangannya, sebagian kewenangan BI akan beralih ke OJK. Untuk LPS sendiri, Sigit mengatakan bahwa lembaga itu sebetulnya sudah memungut iuran ke industri perbankan. Jika tidak ada bank gagal yang perlu diselamatkan LPS maka uang hasil iuran ini tidak digunakan. Artinya, iuran kepada OJK dapat diambil dari dana iuran LPS tersebut.

“Ketika industri perbankan dalam keadaan sehat, kenapa LPS tidak berbagi dengan OJK,  tujuannya kan sama. Karena itu, sebaiknya iuran LPS ini dibagi dengan OJK,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut Sigit, iuran OJK ini dapat juga diambil dari Giro Wajib Minimum (GWM). Soalnya, GWM ini dibebani bunga dan diserahkan kepada OJK untuk membiayai kegiatan pengawasan perbankan. Namun, Sigit tidak menolak dengan adanya pungutan ini nantinya. Hanya saja, perbankan akan merasa diberatkan dengan adanya pungutan tersebut.

Jika merujuk kepada UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, memang OJK boleh dan dapat memungut iuran untuk jasa-jasa pengawasan dan pengaturan jasa keuangan. Tetapi, jika  merujuk pada Pasal 37 ayat (1) UU OJK, lembaga ini boleh memungut iuran tapi sifatnya tidak mewajibkan.

“Ini jelas memberatkan kita,” ujar Sigit menegaskan lagi.

Sementara itu, mengenai figur yang layak untuk menjadi ketua  OJK, Sigit enggan menyebutkan nama.  Yang jelas, dua nama sudah muncul dan itu berasal dari kalangan bank sentral. Sigit berharap, jika ketua OJK berasal dari regulator dan Wakil Ketua OJK berasal dari Kementerian Keuangan, maka eksekutif pengawas perbankan bisa dipilih dari industri perbankan.

Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Gatot M Suwondo, juga memiliki pendapat yang sama. Ia merasa keberatan jika OJK melakukan pemungutan iuran kepada industri perbankan. “Kami (perbankan) kan yang diaudit, sedangkan OJK yang mengawasi kami. Masa yang diawasi harus membayar kepada yang mengawasi. Governance-nya dimana,” katanya.

Sementara itu, terkait dengan dua figur yang diajukan menjadi ketua OJK, Suwondo mengatakan ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian para calon. Pertama, diperlukan figur pemimpin yang profesional. Kedua, para calon DK OJK harus berkompeten di bidang masing-masing serta memiliki integritas yang tinggi. Ketiga, mengacu pada UU OJK Pasal 15 yang menjelaskan bahwa para anggota DK OJK harus memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang baik.

“Kami dari Himbara, menyerahkan sepenuhnya kepada DPR dan kami percaya DPR memiliki pandangan yang baik,” ungkap Suwondo.

Ia berpendapat ketua DK OJK tidak perlu memiliki keahlian spesifik, tetapi ketua DK OJK nantinya harus memahami bagaimana kesetaraan antara Indonesia dan negara tetangga. “Calon ketua DK OJK nantinya haruslah memahami kesetaraan Indonesia dan negara  tetangga, agar ketua DK OJK nantinya paham akan otoritas jasa keuangan,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait