Tabrak Peraturan, Kontrak Batal Demi Hukum
Berita

Tabrak Peraturan, Kontrak Batal Demi Hukum

Renegoisasi terhadap kontrak terhadap terbitnya peraturan baru dapat dimungkinkan.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
PN Jakarta Selatan gelar sidang lanjutan gugatan kontrak kerja Freeport Indonesia. Foto: ilustrasi (Sgp)
PN Jakarta Selatan gelar sidang lanjutan gugatan kontrak kerja Freeport Indonesia. Foto: ilustrasi (Sgp)

Perjanjian kerjasama yang tertuang dalam kontrak seharusnya batal demni hukum jika substansi kontrak itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Syarat subjektif dan objektif dalam pasal 1320 KUH Perdata harus terpenuhi agar kontrak sah secara hukum.

Demikian intisari pandangan Samuel Hutabarat dalam sidang lanjutan gugatan terhadap kontrak kerja Freeport Indonesia di PN Jakarta Selatan, Selasa (29/5). Samuel menjadi ahli dalam sidang  gugatan  Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS)itu. Freeport Indonesia, Pemerintah Indonesia, DPR dan Kemeterian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM)menjadi tergugat dalam kasus ini.

Samuel, dosen hukum perdata Universitas Atmajaya Jakarta,  berpendapat syarat perjanjian kontrak sudah tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Agar kontrak sah secara hukum, syarat subjektif dan objektif harus terpenuhi. Jika salah satu saja persyaratan objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Kontrak, jelas Samuel, bersifat mengikat antara kedua belah pihak.Jika lahir perundang-undangan baru, maka para pihak seyogianya memodifikasi atau menyesuaikan materi kontrak dengan peraturan baru tersebut. Sebab, jika isi kontrak tak sesuai peraturan perundang-undangan, ada konsekuensi yuridisnya. “Kalau suatu hari ada isi kontrak yang tidak sesuai, maka klausul itu tidak berlaku,” imbuhnya.

Dalam kontrak karya Freeport, para pihak juga harus tunduk pada peraturan perundang-undangan. Freeport dan pemerintah Indonesia sudah meneken Kontrak Karya II pada 1991. Kemudian terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) No.45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Menurut Samuel, Freeport Indonesia harus menaati PP dimaksud. “Peraturan itu harus diikuti, karena itu peraturan,” ujarnya.

Itu sebabnya, Samuel menyarankan kedua belah pihak melakukan renegosiasi kontrak, agar disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika tidak, syarat causa yang halal seperti diamanatkan pasal 1320 KUH Perdata bisa tak terpenuhi. Akibatnya bisa fatal dan potensial melahirkan sengketa hukum di kemudian hari. “Kalau unsur kausa halal tidak terpenuhi maka kontrak akan batal demi hukum. Dengan tidak diikuti ketentuan undang-undang, maka konsekuensinya kontrak akan batal,” ujarnya.

Di depan majelis hakim pimpinan Sukoharsono, Samuel juga menegaskan bahwa kontrak tak boleh merugikan salah satu pihak. Jika masih merugikan, maka para pihak dimungkinkan melakukan renegosiasi. “Kontrak itu dimungkinkan untuk dimodifikasi. Itu sangat dimungkinkan,” katanya.

Ditemui usai persidangan, Direktur Eksekutif IHCS Gunawan mengatakan setiap orang, badan hukum berhak membuat perjanjian kontrak dengan pihak lain berdasarkan ketentuan yang berlaku. Kontrak yang kemudian hari bertentangan dengan hukum, maka batal demi hukum. Agar tidak batal demi hukum, solusinya adalah modifikasi.Apalagi di atas lahan yang diperjanjikan Freeport dan Indonesia ada hak publik. “Pihak ketiga adalah orang yang tidak ikut perjanjian tapi dirugikan oleh kontrak tersebut. Kalau hak pertambangan ada hak publik”.

Sekadar diketahui, IHCS melayangkan gugatan terhadap Freeport, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Indonesia, dan DPR. Dalam gugatannya, IHCS mempersoalkan besaran royalti yang hanya satu persen. Menurut IHCS, nilai royalti itu terlampau rendah, dan tidak mengacu pada PP No 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Energi Sumber Daya Mineral.

Tags: