Aturan Hak Tunjangan Hakim Perlu Penegasan
Berita

Aturan Hak Tunjangan Hakim Perlu Penegasan

Sidang pleno kali ini hanya dilakukan dengan tiga orang hakim MK.

Oleh:
ash
Bacaan 2 Menit
Profesor Yusril Ihza Mahendra. Foto: Sgp
Profesor Yusril Ihza Mahendra. Foto: Sgp

Profesor Yusril Ihza Mahendra berpendapat aturan hak tunjangan hakim sebagai pejabat negara seperti diatur Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum jo Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama jo Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN mengandung ketidakpastian hukum.

“Aturan itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengandung ketidakpastian hukum,” kata Yusril saat dimintai keterangannya sebagai ahli dalam pengujian tiga undang-undang bidang peradilan yang dimohonkan seorang hakim PTUN Semarang, Teguh Satya Bhakti di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (31/5).

Pasal 25 ayat (6) UU PTUN berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.”

Yusril menilai ketentuan pasal itu juga bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena mengandung ketidakjelasan.

“Jenis peraturan perundang-undangan kan jelas yaitu UUD 1945, Tap MPR, Perpu/UU, Peraturan Pemerintah (PP). Yang dimaksud frasa ‘diatur dengan peraturan perundangan-undangan’ dalam pasal 25 ayat (6) UU PTUN yang mana? Ini menjadi tidak jelas,” kata ahli yang sengaja dihadirkan oleh pemohon.

Menurutnya, seharusnya frasa “diatur dalam perundangan-undangan” itu dinyatakan tegas saja, apakah diatur dengan PP atau Peraturan Presiden? “Sebaiknya aturan itu dinyatakan tegas saja, misalnya disebutkan diatur dalam PP, lalu PP itu mendelegasikan ke aturan yang lebih teknis lagi seperti Peraturan MA atau Peraturan Menkeu untuk mengatur tunjangan hakim dan hak-hak lainnya,” sarannya.

Sementara Komisioner Komisi Yudisial (KY) Djaja Ahmad Jayus yang juga dihadirkan pemohon sebagai saksi (fakta) memberikan penjelasan terkait Tim Kecil – yang beranggotakan MA, KY, Menpan dan RB, Sesneg – yang tengah merumuskan tunjangan dan hak-hak hakim sebagai pejabat negara.

Djaja mengaku bahwa tim kecil sudah dua kali melakukan pertemuan yang hasilnya sudah konkrit terkait pembahasan hak-hak hakim sebagai pejabat negara sesuai UU. “Mudah-mudahan ada hasil yang lebih kongkrit pada pertemuan ketiga pada Selasa 5 Juni besok, mudah-mudahan tanggal 5 Juni sudah mengerucut,” harap Djaja. 

Menurutnya, hasil konkrit ini nanti mengerucut adanya kesepahaman yang berhubungan dengan pengujian undang-undang ini. Seperti, gaji hakim, tunjangan hakim, masalah protokoler yang diatur peraturan perundang-undangan lebih lanjut. “KY sudah siapkan draft PP dan Perpresnya. Mudah-mudahan sudah mulai mengkerucut tanggal 5 Juni.”

Tak seperti biasanya, sidang pleno kali ini hanya dilakukan dengan tiga orang hakim MK yang diketuai Maria Farida Indrati, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi. Sisanya, berhalangan hadir. Maria menawarkan kepada para pihak apakah sidang akan tetap dilanjutkan atau ditunda. Namun, pihak pemohon dan pemerintah sepakat agar sidang tetap dilanjutkan.

Untuk diketahui, seorang hakim PTUN Semarang, Teguh Satya Bhakti memohon pengujian tiga undang-undang bidang peradilan terkait hak tunjangan hakim sebagai pejabat negara. Yakni, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU PTUN.

Ia menilai Pasal 25 ayat (6) UU PTUN itu dinilai telah mengesampingkan hak-hak pemohon sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan PTUN. Menurutnya, pasal-pasal itu mengandung ketidakjelasan rumusan sepanjang frasa ‘diatur dengan peraturan perundang-undangan’ karena tidak menyebutkan secara jelas jenis peraturan yang menerima delegasi kewenangan UU PTUN itu.

Ketidakjelasan ini telah mengakibatkan hak-hak pemohon sebagai hakim tidak dapat dilaksanakan. Karena itu, pemohon meminta MK untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap frasa 'diatur dengan peraturan perundang-undangan' dalam Pasal 25 ayat (6) itu harus ditafsirkan (diartikan) diatur dengan peraturan pemerintah.

Tags: