Melihat Korupsi dari Perspektif HAM
Berita

Melihat Korupsi dari Perspektif HAM

Kalau pelanggaran hak asasi oke Tetapi kurang pas kalau korupsi dilihat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan

Oleh:
Mys/Ady
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (tengah). Foto: Sgp
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (tengah). Foto: Sgp

Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial sudah memulai wacana membuka perspektif baru melihat tindak pidana korupsi. Mengingat dampak dan akibatnya, korupsi perlu dilihat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) misalnya, telah menyebabkan akses banyak warga terhadap pendidikan terganggung. Atau, terhambatnya akses warga terhadap layanan kesehatan gara-gara korupsi bidang kesehatan.

Gagasan melihat korupsi tak semata sebagai extra-ordinary crime tetapi juga sebagai crime against humanity antara lain datang dari Saldi Isra. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang ini menilai perlu menggeser paradigma melihat korupsi ke arah kejahatan kemanusiaan. Ia melihat politik hukum pembuat Undang-Undang bidang pemberantasan korupsi sejak tahun 1971 juga sudah bergeser. “Harus ada politik hukum baru yang menempatkan korupsi sebagai crime against humanity”, ujar Saldi saat berbicara di Yogyakarta, 15 Mei lalu.

Perlunya mengubah paradigma melihat korupsi memang mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyambut gagasan itu. Busryo menunjuk konsideran ‘Menimbang’ UU No. 20 Tahun 2001. Disebutkan bahwa ‘tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas’.

Namun tidak semua praktisi dan akademisi hukum setuju gagasan melihat korupsi sebagai crime against humanity. Ketua Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Eko Riyadi mengatakan meski setuju perubahan paradigma, perubahan itu tak sampai ke tahap crime against humanity yang datur dalam UU No. 26 Tahun 2000. “Belum sampai ke kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya kepada hukumonline.

Jika korupsi dilihat dari perspektif  kejahatan terhadap kemanusiaan, maka korupsi akan diproses di pengadilan HAM berat. Definisi operasional akan sulit dibuat jika korupsi menjadi kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Tetapi Eko setuju jika korupsi dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan konstruksi hukum ini maka pelanggaran hak asasi manusia lebih dipandang sebagai unsur yang memperberat hukuman terhadap pelaku.

Anggota Komnas HAM, Joseph Adi Prasetyo sepaham dengan Eko. Akan sulit bagi aparat menegakkan hukum memasukkan unsur-unsur crime against humanity dalam perbuatan korupsi. “Kejahatan terhadap kemanusiaan itu mengikuti suatu trauma. Jadi, harus ada serangan, harus dilakukan secara sistematis meluas, kemudian ada pertanggungjawaban komando. Kalau korupsi gimana? Sulit memasukkan itu,” kata pria yang biasa disapa Stanley ini.

Menurut Stanley sulit memasukkan anasir UU No. 26 Tahun 2000 ke dalam konstruksi tindak pidana korupsi. Sebagai wacana, gagasan KPK, MA dan Komisi Yudisial tidak ada persoalan. Tetapi sebagai konstruksi hukum yang didakwakan kepada pelaku akan sulit. Meskipun menggunakan UU No. 39 Tahun 1999, tetap sulit menghukum pelaku. Sebab, kata Stanley, Undang-Undang ini tidak memuat sanksi pidana.

Perubahan paradigma boleh saja. Tetapi di mata Stanley, perubahan paradigma itu jangan hanya karena geram dan kesal melihat korupsi. Dengan konstruksi yang ada sekarang pun (baca: extra ordinary crime) korupsi sudah menjadi kejahatan luar biasa dan ditangani secara luas biasa pula. “Ancaman korupsi itu sudah berat. Tinggal dilaksanakan saja. Nggak perlu hukuman tambahan,” pungkas Stanley.

Tags: