Hakim Anggap LPSK Pengganggu
Berita

Hakim Anggap LPSK Pengganggu

Keganjilan penanganan perkara melemahkan korban.

Oleh:
inu
Bacaan 2 Menit
Tasman Gultom, anggota LPSK, penanggungjawab bidang perlindungan. Foto: Sgp
Tasman Gultom, anggota LPSK, penanggungjawab bidang perlindungan. Foto: Sgp

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih dianggap sebelah mata oleh penegak hukum maupun para pegadil dalam proses penegakan hukum. Contohnya tatkala LPSK hadir di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi yang menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kala petugas LPSK hadir di persidangan pada satu hari mendampingi saksi sekaligus korban KDRT, Tuti Mujiarti (48) sebagai terdakwa di PN Bekasi, sikap tak sedap diterima dari trio majelis hakim Tri Hari Budi Satrio selaku ketua majelis, didampingi Diah Siti Basariah, dan Burhanuddin AS. Tuti,  adalah terlindung LPSK, karena diduga menerima kekerasan dari suaminya HR Djoko Sulistiyono Nugroho yang tercatat sebagai salah satu direktur di PT Jababeka Tbk.

Kala itu, menyadari ada petugas LPSK yang mendampingi Tuti dalam persidangan, majelis hakim pun menganggap kehadiran LPSK ilegal. Petugas LPSK bak 'lalat pengganggu' bagi majelis hakim sehingga merasa terganggu menjalankan tugas selaku pengadil.

Menurut Anggota LPSK, penanggungjawab bidang perlindungan, Tasman Gultom seperti tertulis dalam siaran pers, Jumat (1/6), Tasman mengatakan pihaknya mendapatkan perlakuan tidak baik dari majelis hakim perkara nomor 655/Pid.B/2012/PN.BKS. Majelis menganggap kehadiran LPSK sebagai pengganggu. Serta mengabaikan hak Tuti sebagai saksi dan korban KDRT yang masuk dalam program perlindungan LPSK.

Padahal sudah ada pernyataan resmi LPSK ke PN Bekasi bahwa Tuti masuk program perlindungan. "Berdasarkan pertimbangan menerima permohonan perlindungan Tuti, karena mengalami kekerasan fisik akibat kekerasan yang dilakukan suami," ujar Tasman.

Sikap majelis hakim dinilai ganjil oleh LPSK. Tak hanya itu. LPSK menilai ada keganjilan dalam penanganan perkara yang tengah berlangsung. Karena, LPSK sudah bekerjasama dengan Mahkamah Agung (MA) yang memberikan lampu hijau bagi LPSK untuk mendampingi korban di persidangan.

Meskipun, lanjut Tasman, dalam perjanjian kerjasama itu, LPSK tidak dapat menjadi pihak. Karena, lanjutnya sistem peradilan pidana di Indonesia memang tidak mengatur keterlibatan LPSK dalam proses peradilan.

Tasman melanjutkan, ada sejumlah kejanggalan lain. Kejanggalan itu mengindikasikan terpenuhinya unsur tindakan menghalang-halangi pemberian  perlindungan terhadap saksi dan korban sesuai ketentuan Pasal 38 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Yaitu tindakan penyidik Kepolisian (Polresta Bekasi) yang justru mendahulukan laporan balik suami korban dibanding laporan Tuti sebagai korban KDRT. Padahal, sehari sebelumnya, Tuti melaporkan suaminya ke Polda Jabar di Bandung karena melakukan KDRT.

Lalu, k
eganjilan lain adalah tindakan majelis hakim yang mengeluarkan penetapan No: 406/Pen.Pid.B/2012/PN.Bks pada 31 Mei 2012. Tuti ditetapkan sebagai tahanan rumah.

Padahal di rumah tersebut Tuti kerap mengalami kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh suaminya. Tak hanya itu, penuntut umum juga memaksa Tuti melaksanakan penetapan majelis hakim tersebut.

Tindakan ini, lanjut Tasman bertentangan dengan Pasal 23 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Diamanatkan dalam pasal itu, pihak Kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara terhadap korban. Kemudian memprioritaskan perlindungan terhadap korban.

“Pada perkara ini, pihak Kepolisian seolah-olah mengabaikan laporan korban dan mendahulukan laporan balik orang yang diduga dilakukan suaminya," ungkap Tasman.

Akan semua tindakan penegak hukum dan majelis hakim pada perkara ini, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menyatakan kecewa. Menurut dia, penegak hukum dan majelis hakim terkesan tidak mendukung upaya perlindungan yang dilakukan LPSK. Bahkan, terkesan menghalang-halangi saksi mendapatkan perlindungan.

Dia sampaikan, ketentuan Pasal 36 UU PSK menyatakan dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK. “Fakta dalam perkara KDRT ini, penegak hukum telah melanggar ketentuan hukum tersebut,” ungkap Semendawai.

Tindakan aparat penegak hukum tersebut, menurut Ketua LPSK, dapat dikategorikan tindak pidana sesuai ketentuan Pasal 38 UU PSK. “LPSK akan memproses hukum tindakan tersebut, terutama jika saksi yang kami lindungi mengalami hal-hal yang tidak diinginkan akibat pelaksanaan putusan majelis hakim yang tidak mempertimbangkan aspek perlindungan terhadap korban tersebut,” tandasnya.

Sebelum memproses itu, LPSK, lanjut Tasman akan menyurati Ketua PN Bekasi. Kemudian surat itu ditembuskan pada Kapolri, dan Jaksa Agung, Ketua MA, dan Ketua Komisi Yudisial sebagai laporan guna mengingatkan penerapan dari naskah saling kesepahaman (MoU) dengan LPSK dalam proses penegakan hukum.

Tags: