Aturan Pidana Minimal Demi Kepastian Hukum
Berita

Aturan Pidana Minimal Demi Kepastian Hukum

Pidana minimal dalam perkara korupsi dipersoalkan.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
MK gelar sidang permohonan pengujian UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Foto: Sgp
MK gelar sidang permohonan pengujian UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Foto: Sgp

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya frasa “pidana penjara paling singkat 4 tahun” yang dimohonkan terpidana korupsi, Herlina Koibur.

Dalam sidang kali ini, Mahkamah hanya mengagendakan mendengar keterangan/tanggapan pemerintah. Pemerintah menilai frasa “pidana penjara paling singkat 4 tahun” yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Ketentuan itu telah memberikan kepastian hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Direktur Litigasi Kemenkumham, Mualimin Abdi dalam sidang pleno pengujian UU Pemberantasan Tipikor di ruang sidang MK, Kamis (07/6).

Mualimin mengatakan rumusan pidana minimal dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor merupakan cerminan legal policy pembuat Undang-Undang mengingat praktik korupsi di Indonesia telah berlangsung meluas dan sistematis. “Ini butuh cara-cara luar biasa untuk menanggulanginya,” kata Mualimin.

Menurut dia, ancaman pidana (minimal) dalam Pasal 2 ayat (1) itu dimaksudkan juga untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap seluruh warga masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Lagipula, kata Mualimin, permohonan pemohon lebih terkait dengan persoalan penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma, yakni pidana minimal (4 tahun) yang dijatuhkan dinilai tidak sesuai dengan peran pemohon. “Hal ini jelas bukan kewenangan MK karena tidak terkait dengan persoalan konstitusionalitas norma,” dalihnya.

Karena itu, menurut pemerintah tidak terdapat kerugian konstitusional yang dialami pemohon atas penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor. “Kerugian konstitusional pemohon tidak berdasar karena aturan itu berlaku untuk setiap orang termasuk pemohon yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi, sehingga telah menjamin perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi pemohon”.

Halaman Selanjutnya:
Tags: